His name is Derai. Her name is Rinai. Together they were inseparable.
Mereka bertemu 15 tahun yang lalu, di sebuah kota kecil di pinggir laut. Saat sedang duduk menatap matahari yang mulai tenggelam. Sejak hari itu mereka selalu bersama, dan merangkai sebuah kisah. Kisah yang mungkin indah, tapi sama sekali bukan kisah cinta.
Hanya sepenggal cerita, dari kehidupan dua orang anak manusia.
Pertemuan
1995
Rinai sedang duduk memandangi laut yang terbentang luas di hadapannya. Di sampingnya, Bonnie, seekor anjing German Sheperd duduk menemani. Sesekali Bonnie menggosok-gosokkan moncongnya ke lengan Rinai memintanya melempar sepenggal kayu untuk dikejar. Dengan malas Rinai memenuhi permintaan anjing itu.
Sepeninggal Bonnie, Rinai menumpukan kepalanya ke atas lutut sambil mengela nafas panjang. Gadis berusia 12 tahun itu sedang kesal, bahkan pemandangan yang terhampar indah di depannya tak berhasil membuat perasaannya membaik. Pasalnya dia terpaksa harus pindah ke kota kecil, semata karena ibunya memilih untuk pindah ke sini setelah bercerai dari Papa. Sementara Papa tetap tinggal di Jakarta, di rumah lama Rinai, yang dekat dengan sekolahnya, dan di kelilingi semua teman-temannya. Rinai mendesah lagi.
Rinai tak mempemasalahkan kedua orangtuanya bercerai, dia malah mensyukuri keadaan ini. Tapi dia benci harus berpisah dengan semua orang yang dikenalnya hanya karena Mama tak mau lagi tinggal di kota yang sama dengan mantan suaminya. Mama bilang setiap liburan Rinai boleh pulang ke Jakarta, ke tempat Papa.
Karena itu juga kamar Rinai di rumah lama masih utuh, barang-barangnya tak ada yang dibawa kesini, yah kecuali baju-baju dan barang-barang kebutuhan utama tentunya. Rinai merindukan koleksi komiknya yang ditinggal di Jakarta. “Biar kamu sering-sering ke sini,” begitu kata Papa saat Rinai hendak membawanya. Rinai mendecak kesal. Apa Papa pikir kalau komik-komik itu Rinai bawa lantas dia tak akan ingin bertemu Papa? Orang dewasa memang bisa sangat aneh kadang-kadang.
Rinai mendengar gonggongan Bonnie dari kejauhan, membuyarkan lamunannya. Dia melihat ke sekeliling, mencari-cari keberadaan Bonnie yang hanya terdengar suaranya saja.
“Bonniiiiiii…” teriaknya. “Bonniiiiii….pulang yuuuuuuk!”
Bonnie masih terus menggonggong di kejauhan. Akhirnya Rinai bangkit dan mencari Bonnie berdasarkan arah datangnya suara. Setelah melangkah kira-kira 100 m akhirnya Rinai melihat Bonnie. Sedang berebut sepenggal batang pohon dengan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek. Di lehernya ada sebuah kalung kulit hitam yang tak bisa Rinai lihat dengan jelas bentuk liontinnya.
“Hei! Kamu apakan anjingku?” jeritnya, sambil buru-buru berlari mendekat. Anak laki-laki itu berhasil merebut batang pohon dari moncong Bonnie, anjing itu menggonggong lagi lantas lari menjauh ketika anak laki-laki itu melempar potongan kayu tadi. Dia lantas berbalik dan menatap Rinai. Mulutnya menyeringai geli.
“Anjing kamu bagus,” katanya sambil menyisir rambutnya dengan satu tangan.
“Kamu apain anjingku?” jawab Rinai galak. Si anak laki-laki hanya mengangkat bahunya dengan acuh. Dia jauh lebih tinggi dari Rinai, dan sepertinya lebih tua juga. Kulitnya coklat terbakar matahari.
“Anak baru,ya?” katanya dengan nada mengejek. Rinai hanya cemberut. Dia lantas buru-buru berjalan melewati anak laki-laki itu, mengikuti jejak yang ditinggalkan Bonnie di pasir pantai. Tiba-tiba badan anak laki-laki itu sudah ada di depannya, membuat Rinai membentur bahunya.
“Ih, apaan sih! Sakit tau nggak! Mana kamu nggak pake baju lagi, jijik!”
“Makanya kalau ditanya jawab dong,” lagi-lagi si anak laki-laki berbicara dengan nada mengejek yang bikin darah Rinai mendidih. Sementara si pelaku hanya memandangnya dengan tatapan nggak bersalah, sama sekali tak terpengaruh omongan Rinai. “Anak baru? Datang dari mana?”
“Dari planet mars! Udah sana minggir!” jawabnya kasar sambil agak mendorong anak laki-laki itu agar tak menghalangi jalannya.
Cowok itu bergeming, dan Rinai tak berhasil mendorongnya. “Katanya jijik, tapi dipegang-pegang juga…”
“Iiuw! Dasar norak!” Kali ini Rinai hanya berdiri sambil menatap galak cowok itu, kedua tangannya terkepal kencang di samping tubuhnya.
“Galak banget sih, non… Lihat tuh, urat kamu kayak mau meledak gitu.” Rinai hanya melotot. Tiba-tiba anak laki-laki itu tertawa kencang. “Muka kamu lucu banget, ya. Kalau nggak galak, kamu pasti imut deh…”
“Iih, norak…” Rinai bersungut-sungut dan kembali berjalan melewati cowok itu. Setelah beberapa langkah dia mendengar cowok itu berteriak,
“Hey! Nama kamu siapa?” Rinai terus berjalan tak memperdulikan cowok mengesalkan tadi. “Hooy….” Cowok itu mulai berlari mengejarnya, entah kena angin apa, tiba-tiba Rinai juga langsung berlari, semakin lama semakin cepat. Dia mendengar cowok itu tertawa tak jauh di belakangnya, dan dia pun tiba-tiba merasakan dorongan untuk tertawa. Rinai mempercepat larinya. Akhirnya dia membiarkan tawanya terlepas. Cowok itu sudah berhasil menjejerinya.
“Yang kalah traktir coca-cola,” tantangnya.
“Siapa takut!” Rinai menjawab tak mau kalah. Mereka berlari sepanjang pantai, dari kejauhan gema tawa mereka terdengar, lepas terbawa angin. Saat Rinai berhasil mendahuluinya, tiba-tiba cowok itu jatuh terguling. Rinai tertawa senang, dan mempercepat larinya. Tapi saat dia menengok ke belakang anak laki-laki itu masih tersungkur di tanah, tak bergerak sedikitpun.
Rinai menghentikan larinya, dan berjalan mendekati dengan ragu-ragu. Semakin dekat langkahnya semakin pelan. Dia melihat kesekeliling dengan takut-takut. Kalau cowok ini kenapa-napa apa yang harus dia lakukan, dia sama sekali nggak kenal siapa-siapa disini. Apa yang akan Mama katakan? Bagaimana kalau dia dimarahi? Dengan ragu-ragu disenggolkannya telapak kakinya ke badan cowok itu,
“Eh…eh,” katanya pelan. “Sst, kamu kenapa?” tanyanya lagi sambil menendang pelan badan cowok itu. Saat akhirnya dia masih belum bereaksi juga, Rinai berjongkok di samping cowok itu, mengguncang-guncangkan bahunya. “Heiii! Jawab dong, kamu kenapa?” serunya mulai panik.
Dengan susah payah dibalikkannya badan cowok itu. Sepertinya cowok itu nggak apa-apa, setidak-tidaknya nggak ada luka yang terlihat, tapi mata anak laki-laki itu terpejam. Rinai mulai benar-benar panik. Susah payah ditahannya dorongan untuk menangis, walaupun matanya mulai terasa perih, dan ada isakan yang mendesak keluar di tenggorokannya. Sekali lagi diguncang-guncangkannya badan cowok itu, kali ini lebih keras dibanding sebelumnya.
“Waaaaa!” tiba-tiba cowok itu berteriak sambil duduk bangun. Rinai benar-benar kaget sampai ikut menjerit. Cowok itu tertawa keras, “satu monyet kena tipuuu, ahahahaha…” teriaknya senang.
Rinai hanya bisa melongo menatap cowok yang masih tertawa di depannya. Tiba-tiba air matanya mengalir, dan Rinai menangis, dengan kencang, seperti saat dia masih TK dulu. Rinai terus menangis, entah karena lega, entah karena panic, atau juga gara-gara kesal. Yang pasti Rinai terus menangis, sementara si cowok gantian menatapnya dengan bingung.
Rinai terus menangis, dan cowok itu dengan setia duduk menemaninya. Setelah tangisan Rinai mulai mereda, dengan kikuk cowok itu menepuk-nepuk pelan kepalanya, “hush hush, udah jangan nangis lagi..” dia merogoh-rogoh kantong celana pendeknya, dan mengeluarkan sekeping bintang laut berwarna merah jambu sebesar telapak tangannya. “Nih, buat kamu. Maafin aku yaa…” katanya sambil menyodorkan bintang laut tadi.
Rinai yang masih terisak-isak dengan ragu menerimanya. “Ka..kamu d-dapat darimana?” tanyanya pelan sambil sesegukan.
“Nemu di pantai, asalnya mau aku bawa pulang. Tapi buat kamu aja deh,” jawabnya sambil nyengir, “lagian warnanya sama kayak warna muka kamu sekarang.”
Rinai menonjok bahu cowok itu. Korbannya hanya meringis sambil mengusap-ngusap bahunya yang sebetulnya sama sekali nggak sakit. “Yuk,” katanya sambil menarik Rinai berdiri.
“Kemana?”
“Aku traktir coca-cola. Kan kamu menang, lagian habis nangis gitu kamu pasti haus, kan?” katanya sambil lagi-lagi nyengir. Rinai cuma cemberut, tapi membiarkan cowok itu menarik tangannya.
“Jadi,” katanya lagi, sambil membersihkan tangan Rinai dari pasir, “nama kamu siapa?”
“Rinai…” cowok itu ternganga, dan menghentikan segala aktifitasnya.
“Bohong,” katanya pelan. Rinai mengerutkan keningnya,
“Lho, kok bohong sih?? Ngapain juga bohong coba?” amarah Rinai mulai terpancing lagi.
“Namaku Derai.”
Sekarang gantian Rinai yang melongo tak percaya. Berdua mereka hanya berdiri berpandang-pandangan. Tak ada yang mengatakan apa-apa, kebetulan itu terasa terlalu aneh, bahkan bagi anak-anak seperti mereka.
“Mungkin kamu jodoh aku…”
Rinai hanya tersenyum dalam diam.
Akhirnya mereka berjalan berdua, meninggalkan seekor anjing yang mengekor dibelakang, bergandengan tangan meninggalkan pantai yang mulai menghitam.
to be continued...
02 August, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment