Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

15 November, 2007

Rumah Di Tepi Pantai

Saya berjalan menyusuri pantai. Hari ini lengang, tapi mungkin keadaan seperti ini yang paling baik. Saya bisa merasakan panasnya matahari di kulit saya, nanti malam mungkin akan perih, tapi saya tidak peduli. Saya tidak ingin mempedulikan apapun saat ini. Saya hanya ingin berjalan, dan terus berjalan, entah menuju kemana. Mungkin memiliki seekor anjing kecil yang berlari-lari di dekat kaki saya akan menyenangkan, tapi saya tidak punya anjing, saya alergi pada bulu binatang.

Angin meniup bagian bawah gaun saya, saya jadi ingat saat kecil dulu, saya suka menari berputar-putar agar gaun saya terangkat dan membentuk lingkaran yang cantik, seperti yang dilakukan oleh para penari Spanyol. Saya juga sempat ingin menjadi seorang penari. Saya membayangkan akan mengenakan sebuah gaun yang sangat cantik, dengan rok lebar dari bahan chiffon yang sangat ringan, manik-manik akan memenuhi rok saya, dan saat saya menari saya akan terlihat bersinar-sinar, seakan-akan ratusan kunang-kunang ikut menari bersama saya. Tapi tentu saja hal itu tak pernah terjadi. Hidup saya berhenti terasa menarik, semenjak...entahlah.

Saya melihat sesuatu yang berkilauan, agak tertimbun pasir pantai yang putih. Mungkin kulit kerang, saya membatin. Tapi tetap menunduk untuk memungutnya. Ternyata itu sama sekali bukan kulit kerang, melainkan sebuah cincin. Cincin emas yang sangat indah, dengan sebuah batu kecil berwarna biru berbentuk seperti tetesan air ditengahnya. Batu safir. Siapa yang sampai hati membuang cincin seindah ini, atau apakah cincin ini terjatuh? Sesaat saya ragu, apa saya boleh membawa cincin ini, atau harus meletakkannya lagi. Tapi bagaimana kalau cincin ini tersapu air, dan terbawa, menghilang di lautan luas?

Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu. Siapa tau seseorang akan datang untuk mencari cincin cantik ini. Saya lalu berjalan ke sebuah pohon kelapa yang cukup besar, berencana untuk duduk dibawahnya.

Pantai masih tetap lengang, pasti hanya orang bodoh, atau orang yang sangat bosan seperti saya yang mau berada di pantai dalam cuaca sepanas ini. Ah, saya tak peduli, lebih baik saya mulai menunggu dengan tenang. Saya akan menunggu sampai malam tiba, kalau tidak ada siapapun yang datang, berarti cincin ini menjadi milik saya, atau, entahlah...saya belum tau.

Saya mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas pantai saya. Love In The Time of Cholera. Apa rasanya jatuh cinta, sampai tak bisa lepas lagi? Seakan-akan cinta kita itu jadi bagian dari tubuh kita, bukankah akan menyeramkan? Atau bagaimana rasanya bisa jatuh cinta dalam sekejap mata? Apakah rasanya bagai tersambar petir, tersengat listrik, atau sensasi-sensasi aneh lainnya yang mengejutkan? Apa yang Shakespeare pikir akan dirasakan oleh Romeo dan Juliet saat mereka bertemu? Bagaimana mereka berdua bisa langsung jatuh cinta, lantas melupakan segalanya? Ah, mungkin itu hanya karena mereka masih sangat muda, sehingga semuanya terasa begitu dramatis. Seperti yang saya alami saat masih sangat muda dulu.

Bagaimana orang-orang bisa menulis kisah cinta yang hebat? Apakah Shakespeare orang yang penuh cinta, apakah dia memuja cinta? Ah, saya rasa dia gila, atau bahkan membenci cinta. Semua orang yang jatuh cinta selalu dibuatnya berakhir menderita, ck! Bagaimana dengan legenda Yunani itu? Apakah mungkin ada perempuan yang memiliki cinta sebesar Penelope? Akankah para kekasih tetap setia menunggu, sampai orang yang mereka cintai pulang, walau tak tau untuk berapa lama. Atau adakah orang yang jadi gila karena cinta, seperti Qais yang kehilangan akal sehatnya karena Laila. Aneh, kenapa hampir semua kisah cinta yang tetap hidup sepanjang masa, berisi tentang para pecinta yang mati?

Lebih baik saya lupakan hal itu untuk sementara, dan membaca buku ini. Sebenarnya saya tak ingin buru-buru menyelesaikannya, ceritanya sangat indah, selain itu saya juga belum punya buku lain untuk dibaca. Jadi dengan ragu-ragu saya kembali menutup buku saya tadi, belum ingin mulai membaca lagi. Saya mengeluarkan cincin itu dari saku gaun pantai saya, mengangkatnya menghadap matahari. Dan saya bisa melihat cahaya matahari berpendar melalui batu safir itu. Persis seperti cincin idaman saya. Hhh, seandainya saja cincin ini milik saya.

Seorang laki-laki berjalan di pantai. Hmm, ternyata ada juga orang yang sama bodohnya dengan saya. Tapi laki-laki itu sedang menunduk dan bahunya agak membungkuk sehingga terlihat sedih. Semoga saja dia tidak berniat bunuh diri, saya tak ingin merasa bersalah karena tak ingin menyelamatkannya. Tapi kalau saya perhatikan wajah laki-laki itu tak buruk juga, malah diatas rata-rata. Kalau mood saya sedang bagus, saya akan menyebutnya ganteng, tampan, atau apapun sejenisnya. Dan kalau mood saya sedang lebih bagus lagi, mungkin saya akan berusaha mengajaknya bicara. Tapi saat ini, saya sedang malas, jadi sudahlah, biarkan saja, it's his lost, anyway...hehehe.

Laki-laki itu menundukkan badannya yang agak kurus, memandangi pasir pantai, tapi anehnya dia seperti hanya termangu. Setelah membungkuk cukup lama, dia menurunkan tangannya dan mengais-ngais pasir. Oops, jangan-jangan ini dia sang pemilik cincin. Hhh, padahal saya benar-benar berharap untuk dapat memiliki cincin ini. Laki-laki itu sudah menegakkan badannya lagi, dan kembali berjalan. Matanya masih memandang ke bawah, terkadang dia membungkuk, tapi lalu berjalan lagi. Sepertinya saya memang harus benar-benar mengembalikan cincin ini.

“Hey...!!! Hey!!” saya mencoba memanggilnya, tapi sepertinya lelaki itu tak mendengar suara saya. Saya pun berdiri dan berjalan mendekat. Saya menepuk bahunya, dia tersentak kaget. “Apa kamu mencari sesuatu?” tanya saya sambil menatap wajahnya, lebih tepatnya mengamati wajahnya. “Apa ada barang kamu yang hilang?” saya bertanya lagi, karena sepertinya dia tidak menangkap pertanyaan pertama saya tadi.

“ Entahlah...” Heh?! Mana ada orang yang mencari sesuatu tapi tidak tahu apa ada barangnya yang hilang. Dasar aneh! Tapi, ya Tuhan, dia ternyata sangat tampan. Matanya tajam, dan berwarna coklat tua pekat. Rambutnya hitam, segelap malam, dengan ikal lembut yang menjuntai di keningnya. Seperti rambut Superman, tanpa gel tentunya. Hidungnya sangat mancung, dan sepertinya pernah patah. Dan yang paling luar biasa adalah bibirnya, bergaris tegas, cukup tebal, dan, kalau mengikuti novel-novel roman, menjanjikan kenikmatan, hahaha.“Kamu nggak tau ada barang kamu yang hilang atau nggak?” tanya saya lagi. Tuhan maha adil, dia menciptakan makhluk setampan ini, dengan kapasitas otak yang kecil.

“Bukan. Saya tidak tau, apa barang saya yang hilang itu, benar-benar hilang, atau sebenarnya saya sudah menemukannya.” Oh okey, mungkin ternyata dia tidak terlalu bodoh, hanya aneh. “Apa kamu menemukan sesuatu?”

“Tergantung, apa kamu mencari sesuatu?” Dia hanya tersenyum, tipis. Mungkin itu lebih baik, kalau dia tersenyum lebih lebar lagi, dia akan mencuri hati saya saat ini juga.

“Tidak, tidak lagi. Saya rasa saya sudah berhenti mencari.”

“Oh. Alrighty then,” dan saya pun berbalik. Berbicara terlalu lama dengan orang ini akan membawa akibat buruk bagi saya. Entah hati saya akan hancur berkeping-keping, atau saya melakukan hal bodoh dengan menyeretnya ke balik pohon, and kiss him senselessly. Oh Tuhan, saya rasa saya terlalu lama hidup sendirian. Atau...apa saya sedang jatuh cinta, secepat kilat seperti yang selalu diagung-agungkan para sastrawan.

“Tunggu!” dia berteriak memanggil saya. “Kamu mau kemana?”

“Pergi, memang kelihatannya seperti apa?” Dasar bodoh! Tapi, seandainya dia meminta saya menemaninya, siapalah saya kiranya bisa menolak.

“Kenapa? Apa kamu punya hal lain yang ingin dilakukan?” Tentu, seperti kembali di bawah pohon, membuka buku saya, dan membayangkan wajahnya seharian penuh.

“Tentu saja. Apa saya terlihat seperti orang bodoh, yang akan berdiri di bawah terik matahari, dan tidak melakukan apa-apa?”

“Apa kamu mau menemani saya?” O ow, be careful with what you wish for, honey. ”Maksud saya, kalau kamu tidak ada hal lain yang perlu dilakukan, maukah kamu menemani saya?” I'll do anything for you, love, mwuahaha. Tuhan tolong bantu saya, jangan biarkan saya melakukan hal-hal bodoh.

“Menemani? Kamu? Orang asing yang saya tidak tahu dari mana asalnya. Saya bahkan tidak tau apa kamu benar-benar manusia, atau prajurit utusan Ratu Kidul yang bermaksud menculik saya.” Saya pun mengibas-ngibaskan gaun pantai saya yang berwarna hijau.

“Saya tidak tau kalau ternyata kamu sekarang percaya tahayul.”

“Tentu saja kamu nggak tau! Kamu bahkan tidak tau siapa nama saya, apa saya benar-benar perempuan, atau seorang transversite yang sukses.”

“Saya tau kamu benar-benar seorang perempuan. Kalau kamu mau, saya bisa menanyakan nama kamu, dan saya bersumpah tidak akan menculik, dan menyerahkan kamu pada penguasa laut manapun,” dia berkata sambil mengangkat tangan kanannya dan membentuk tanda'V'.

“Kamu tau darimana saya benar-benar seorang perempuan? Kamu tak akan pernah bisa membayangkan apa yang pisau bedah mampu lakukan,” tantang saya.

“Sejauh ini, yang mampu pisau bedah saya lakukan adalah mengangkat dan memindahkan organ tubuh manusia, memotong usus buntu, melancarkan sumbatan organ dalam, dan...ya, saya belum pernah melakukan operasi kelamin, jadi saya memang tidak terlalu yakin.” Hmm, menarik. Jadi lelaki aneh yang saya kira bodoh ini adalah seorang dokter bedah, atau... pembunuh berdarah dingin yang melakukan mutilasi pada para korbannya, dan mengoleksi organ tubuh mereka. Tapi, para pembunuh tidak memotong usus buntu, kan??

“Okey, saya mau menemani kamu, tapi kamu harus menjawab dua pertanyaan saya.”

“Apapun.”

“Apa orang-orang yang kamu bedah itu, memang meminta kamu untuk melakukannya?” Dia terdiam dan lalu matanya membelalak menatap saya. Kenapa dia mesti heran, wajar kalau saya menanyakan pertanyaan itu. Sekarang ini kita tidak boleh lengah, bukan?

“Apa maksud kamu, saya orang gila yang berkeliling dan membedah orang-orang, lalu memotong-motong badan mereka dan mengoleksi organ tubuhnya?” Ups! “Mereka meminta saya, bahkan mereka membayar saya untuk itu. Terlalu berlebihan terkadang, cuma tempat saya bekerja mengatakan banyak biaya administrasi yang harus dibayar oleh orang-orang itu.”

“Okey... jadi kamu bukan seorang pembunuh gila. Lalu, apa yang kamu cari di pantai tadi? Yang kamu nggak yakin lagi, mau kamu temukan atau nggak...”

“Oh itu... sudah tidak penting lagi. Saya yakin, benda yang saya cari tadi, sudah sampai ke tempat dia seharusnya berada. Okey, mungkin belum terlalu tepat, tapi sudah tidak terlalu jauh lagi.” Dasar aneh! “Jadi? Apa kamu mau menemani saya?” tanyanya sambil agak membungkuk agar bisa lebih dekat dengan kepala saya yang memang hanya sedikit melebihi bahunya.

“Okey, jadi kita mau apa? Kemana?” tanya saya sambil membetulkan tali gaun pantai saya yang agak turun.

“Ke rumah kamu,” said the devil with a smile in his angelic face.

“Whoaa, mau apa kita di rumah saya??!” Hmm, tapi kenapa ide itu tidak terdengar terlalu jelek, ya? Di rumah nanti, kami bisa... well, there's a lot, a lot of things that we could do. Tuhaaaan, lelaki ini benar-benar memberi pengaruh buruk pada otak saya yang sudah lama tidak terkena rangsangan feromon.

“Hahaha, jangan panik dulu. Ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan ke kamu”

“Sesuatu? Yang kamu ingin tunjukkan ke saya, dan ada di rumah saya?? Hmm, aneh, kenapa saya sebagai sang PEMILIK rumah tidak bisa mengingat apapun yang mungkin bisa kamu tunjukkan, ya!” dan makhluk tampan menyebalkan ini hanya berdiri sambil tersenyum-senyum di hadapan saya. Yang berarti dengan sukses berhasil mencuri hati saya. Yang artinya lagi, akan membuat saya mengikuti apapun keinginannya.

“Percaya saja. Kamu akan sangat terkejut begitu kita sampai. Walau, melihat mimik kamu sekarang, saya tidak yakin itu akan menjadi kejutan yang menyenangkan.”

Okey then...apapun yang ingin kamu tunjukkan nanti, saya harap, kamu tetap ada disana untuk menerima semua reaksi saya,” what is life without some risks. Dia lalu menggandeng tangan saya, yang anehnya terasa... tepat. Kalau saja kupu-kupu di dalam perut saya bisa sedikit lebih tenang, mungkin saya tidak terlalu merasa ingin muntah.

Kami tidak banyak bicara sepanjang jalan. Dalam hati saya berdoa pada Tuhan, berharap, entah bagaimana rumah saya akan bergerak menjauh setiap kami berjalan mendekat. Jadi dia akan menggenggam tangan saya sedikit lebih lama. Saya bisa mendengar detak jantung saya, bertalu-talu. Seakan ada seorang penebang pohon yang sedang menggerakkan kampaknya, dengan kecepatan yang tak teratur. Seandainya saya adalah sebuah bintang, makanya tubuh saya akan memancarkan cahaya yang sanggup menerangi sebuah desa.

“Apa kamu benar-benar tidak tau siapa saya?” dia tiba-tiba memecah kesunyian antara kami. “Maksud saya, apa saya tidak mengingatkan kamu pada seseorang?” Ng... saya yakin saya belum pernah melihat wajahnya dimanapun.

Nope! Why? Apa kamu kenalan seseorang yang saya kenal?” pertanyaannya entah bagaimana membuat jantung saya berdebar lebih keras. Entah karena takut, atau hanya... yah, hanya karena tangannya makin erat menggenggam tangan saya.

“Seharusnya iya... Seharusnya memang ada seseorang yang mengingatkan kamu tentang saya. Apa ibu kamu dulu tidak pernah memperingatkan kamu, untuk tidak pergi bersama orang asing? Hehehe...” katanya sambil terkekeh. Menyebalkan!

“Ibu saya tidak punya waktu untuk itu. Dia selalu yakin kalau saya mampu menjaga diri saya sendiri. Untungnya saya memang bisa,” jawab saya sambil mengangkat bahu untuk memberi kesan tidak acuh. Padahal, seumur hidup, tidak pernah sedetik pun saya berhenti berdoa agar Ibu punya waktu sedikit lebih banyak untuk saya. Sayangnya, Tuhan masih belum mengabulkan doa saya.

Dia memandang saya, dan entah bagaimana tatapannya menunjukkan seakan-akan dia benar-benar mengerti perasaan saya. “Jika saya memiliki anak seperti kamu, saya tidak akan pernah melepaskannya dari pengawasan mata saya. Saya akan mengikutinya kemana pun dia pergi, mencari tau semua kenalannya, dan memastikan dia memakai baju yang tidak terlalu menonjolkan kecantikkannya. Yang pasti, baju-baju yang akan saya pilihkan tidak akan seperti baju yang kamu pakai sekarang,” ujarnya sambil mengangkat sebelah alis, dan menggerakkan kepalanya ke arah bahu saya.

“Untungnya kamu bukan ayah saya. Saya sangat pemilih dalam berpakaian, dan ayah saya selalu membuat saya merasa cantik!” Saya menjawab tegas. Walau sebenarnya, saya yakin pipi saya warnanya sudah sama dengan pantat bayi saat ini. Kenapa, sih, dengan orang ini?! Semua yang dia lakukan hanya membuat darah saya mengalir cepat ke arah jantung. Apa dia bisa menyelamatkan saya, seandainya saat ini tiba-tiba saya terkena serangan jantung mendadak. Dia kan cuma dokter bedah. Dia hanya tersenyum lagi, dan kami kembali berjalan dalam diam.

Atap rumah saya mulai tampak. Dinding-dinding kacanya memantulkan sinar matahari. Saya sangat mencintai rumah itu. Dinding-dinding kokohnya menjadi teman yang sangat setia, dan pendengar yang sabar atas semua keluh kesah dan isak tangis saya. Satu-satunya hal yang membuat saya mampu menerima semua ketidakpedulian Ibu adalah karena dia membuatkan rumah mungil di pinggir pantai ini untuk saya. Walau dia tidak pernah bermalam sekalipun di dalamnya. Rumah ini, dan seseorang di masa lalu, dulu.

“Apa kamu tau, kamu ternyata sangat mirip dengannya?” dia tiba-tiba kembali melontarkan kata-kata yang tidak bisa langsung dicerna oleh otak saya.

“Hah? Apa?” saya yakin tampang saya saat ini sangat bodoh. “Mirip dengan siapa?”

“Kamu. Kamu sangat mirip dengan ibu kamu. Saya yakin, saat muda dulu wajahnya persis seperti kamu,” lanjutnya sambil menghentikan langkah. “Rambut panjang dengan ikal-ikal halus. Tulang pipi yang tinggi, dagu yang lancip dan angkuh, lesung di kedua pipi, bibir yang kecil dan penuh. Hanya mata kamu lebih besar, dan lebih expresif. Mata kamu akan membuat lelaki mana pun jatuh cinta,” Dia lalu memutar badannya menghadap saya, dan matanya menusuk tajam ke arah mata saya. Saya bisa mendengar sebuah suara di otak yang meneriakkan pertanyaan, termasuk kamu, termasuk kamu??!! “termasuk saya...” Haaaaaaah???!!!

“Dasar lelaki sinting! Kitakan baru bertemu setengah jam yang lalu...!” saya berusaha menutupi gemuruh yang memenuhi kepala saya. Apa akan menjadi terlalu gila, seandainya saya langsung membalas pernyataan cintanya dengan semangat berapi-api? Ya, tentu saja... “Apa kamu selalu mengatakan hal yang sama, kepada semua perempuan yang kamu temui sedang sendirian di pinggir pantai??” Katakan tidak, katakan tidak, katakan tidak...

“Nope!” Amien. “Saya bahkan tidak pernah mengajak bicara perempuan yang saya tidak kenal, walau dalam kasus kita, memang kamu yang terlebih dahulu mengajak saya bicara. Tapi, kamu tentu mengerti maksud saya,”

“Yah, apapunlah... So, kita sudah sampai, jadi apa yang ingin kamu tunjukkan?” ujar saya, sambil mengetuk-ngetukkan telapak kaki saya dengan lagak tidak sabar. Padahal, seluruh waktu saya di dunia, akan rela saya serahkan untuk ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna ini. Dia membuka gagang pintu, dan kami pun melangkah kedalam. Anehnya rumah kami sudah dipenuhi banyak orang.

“Hai, kamu sudah pulang?” Ibu saya menyeruak dari kerumunan orang-orang itu. Aneh, sejak kapan Ibu datang? Biasanya dia selalu memiliki berjuta kesibukan, dan tak sempat datang. “Ibu sudah dari tadi menyuruh Nino mencari kamu...” Nino? Nino? Kenapa nama itu terasa tidak asing? Saya lantas menengok ke arah lelaki tinggi langsing dan asing, yang sepanjang tadi menggenggam tangan saya.

“Kamu? Nino? Nino yang dekil, korengan, bau, dan yang selalu membawa ketapel kemana-mana??” Ya Tuhaaan... dia pahlawan masa kecil saya.

“Ketapel itu terbukti cukup ampuh untuk mengusir anak-anak lain yang mengganggu kamu, dan walaupun saya bau, kamu selalu berjalan di belakang, dan mencengkram erat baju kaus saya,“ jawabnya acuh. Kenapa saya tidak menyadari kemiripan mereka dari tadi? Nino semasa kecil saya dulu, memang selalu kurus, dan tinggi. Nino kecil dulu memang cukup tampan, tapi wajahnya selalu kotor, dan rambutnya selalu dilapisi pasir pantai. Nino kecil dulu, selalu setia membuatkan saya istana-istana pasir, sehingga bau air laut, seakan tidak pernah benar-benar hilang dari tubuhnya. Nino kecil dulu, hidungnya pernah berdarah dan patah, terkena papan selanjar ketika mencoba menarik saya yang nekat menaiki papan itu. Saya masih ingat baju renang yang dipenuhi darahnya, membuat Ibu berlari-lari menghampiri saya dengan mimik khawatir. Saat pertama dan terakhir dia mengkhawatirkan saya. Nino dulu... pernah mencium saya, dibalik tumpukan ban-ban renang yang disewakan dipinggir pantai, saat kami masih berumur 8 tahun. Nino dulu, pernah membuatkan saya kalung dari kulit kerang, dan berjanji akan menggantinya dengan... cincin bermata safir. Cincin bermata safir yang birunya sebiru air laut dalam lukisan ayah saya. Cincin bermata safir, yang permatanya akan memancarkan sinar matahari, dan berbinar indah seperti ribuan kunang-kunang. Kunang-kunang yang pernah kami lihat di malam ulangtahun saya yang ke-10, di sebuah muara dekat rumah. Nino, yang ketika kami berusia 12, pergi. Dia berjanji akan kembali, lalu...

“Saya rasa kamu sudah menemukan cincinnya?” Suara Nino membuyarkan lamunan saya. “Saya melihat kamu memungutnya di pantai tadi. Dan menyimpannya...” Dengan tak sadar, saya merogoh saku gaun pantai saya lalu membuka telapak tangan saya di depan Nino. Cincin itu tergeletak indah di atasnya. “Apa kamu suka? Apa warna birunya sebiru lukisan ayah kamu?” dia bertanya. Otak saya seakan beku. Nama Nino selalu tersimpan rapi dalam sebuah laci di sudut hati saya. Laci yang hampir tak pernah saya buka, karena isinya akan mendatangkan rasa sepi. hingga membuat saya hampir melupakannya. Hidup saya, terasa selalu membosankan, tidak menyenangkan, karena tidak ada Nino yang biasanya siap mengajak saya berpetualang. Setiap hari dulu, Nino selalu mengulurkan tanggannya, seperti yang dilakukan Peter Pan di jendela rumah Wendy, dan membawa saya ke Neverland kami sendiri. Mendaki bukit-bukit karang, memasuki lubang-lubang yang tercipta akibat kikisan air laut, dan menganggapnya sebagai gua pribadi kami.

Sekarang, kami berusia 27 tahun. Lebih setengah umur saya, dilalui tanpanya. Dia telah menjadi seorang dokter bedah, dan saya, seorang pelukis seperti ayah. Tanpa saya sadari, kami berhasil menjadi apa yang kami cita-citakan dulu. Dan tanpa saya pernah tau, saya selalu menunggu Nino kembali, dan memulai petualangan baru kami.

“Persis. Birunya persis sama,” akhirnya saya bisa bersuara. Sekeliling saya seakan menjadi kabur. Dalam rumah ini seakan-akan hanya ada saya dan Nino. Sekarang, apakah penantian saya akan mendapatkan imbalannya?

“Jadi, apakah itu artinya, kita jadi menikah?” Janji 15 tahun lalu pun ditepati.

“Ya, tentu saja,” dan saya pun mendekat, memeluknya. Akhirnya, saya pun pulang.

No comments:

Post a Comment