Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

21 October, 2007

Nimov

“Bermuda?” Seenaknya aku memulai pembicaraan dengan orang yang duduk di sampingku. Aku menunjuk ke buku yang dipegangnya. Ia menoleh, mengangguk.

“Kenapa?” Tanyaku.

“Diving. Aku ingin diving di sana.”

“Oh…” Aku mengangguk-angguk sok mengerti. Aku tidak bisa berenang, “oh, sori. Namaku Alina. Aku dari lantai 2. Mau rontgen.” Ujarku memperkenalkan diri.

“Oh… kalau aku baru datang. Aku… mengunjungi teman.”

“Boleh tahu nama kamu?” Ah, lancang sekali mulutku ini.

Dia tersenyum, “boleh. Nimov,”

“Nimov?”

“Nimov.”

“Kamu orang apa?” Sepertinya pertanyaanku terdengar agak konyol karena dia terlihat menahan tawanya.

“Ayah Rusia, Ibu Jawa. Kombinasi yang aneh ya?”

“Wow. Aku belum pernah bertemu dengan orang berdarah Rusia sebelumnya. Tapi aku selalu membayangkannya di pikiranku.”

“Dan sekarang kamu sudah bertemu seseorang berdarah Rusia,” dia tutup bukunya kembali. “Bagaimana? Samakah dengan bayangan kamu?”

“Kalau warna mata kamu coklat muda… iya.”

Dia dekatkan wajahnya agar aku bisa melihat kedua matanya. “Coklat muda.” ujarnya.

Entah mengapa tiba-tiba saja aku tersenyum lebar, “senang berkenalan denganmu, Nimov.”

“Sama-sama, Alina. Nomor kamu dipanggil masuk ke ruang rontgen, tuh,” ujarnya sambil menunjuk ke kertas yang kupegang, lalu menunjuk ke monitor LED di atas pintu masuk ruang periksa.

“Oh iya. Kalau begitu aku masuk dulu.” Aku menengok ketika berjalan masuk ke ruang rontgen, Nimov sudah kembali asyik dengan bukunya.


oOoOo


“Halo…” Ada suara di pintuku yang setengah terbuka. Aku yang terkulai lemas di tempat tidur susah payah menengok ke arahnya.

“Hei…” aku tersenyum. Nimov ternyata. “Kemarin kamu pulang ya? Aku nggak lihat kamu lagi begitu keluar dari rontgen.”

“Iya. Temanku perlu istirahat. Kalau aku di dekatnya terus, bisa-bisa dia mau ngobrol terus. Kamu kok lemas?”

“Obat. Kamu tahu kamarku dari mana?”

“Gampang. Cuma ada 1 Alina cuma di RS ini.”

“Satu?”

“Iya. Nama Nimov malah ada 3. Aku kecewa,” candanya sambil tertawa kecil. Aku ikut tertawa.

“Teman kamu masih di sini?”

“Masih.”

“Sakit apa dia?”

“Sakit hati.”

“Bercanda kamu!”

Dia hanya tertawa-tertawa kecil saja.

“Kok kamu malah ke sini?”

“Aku mau ketemu sama kamu. Keburu siang... keburu kamu tidur karena obat.”

“Habis itu, pergi?”

“Iya. Tapi bukan untuk seterusnya kok.” Sambil menjawab ia berdiri. Seorang suster masuk membawa nampan berisi 4 pil dan sebuah suntikan. Makanan sehari-hariku.

“Permisi,” ujarnya, “Mbak Alina, minum obat lagi ya…”

“Jangan pergi,” ujarku pada Nimov. “Jangan pergi dulu. Aku sendirian,” Kugamit pergelangan tangannya. Lagi-lagi ia tersenyum.

“Kan saya di sini.” Malah suster tadi yang menanggapiku sambil menunduk menyiapkan suntikan. Sepertinya ia tak memperhatikan kepada siapa aku bicara. Aku dan Nimov tertawa geli bersama. Suster dodol! Dilepaskan tanganku dari tangannya.

Dia menatapku lekat-lekat. “Besok,” katanya. “Besok aku datang lagi.”
Perhatianku pecah karena jarum sudah menusuk pembuluhku, aku menyipitkan mata, meringis kesakitan. Ketika mereka terbuka kembali, Nimov sudah tidak ada.


oOoOo


“Sus…”

“Ya Mbak?” Dia sibuk menyiapkan obat-obatan pagiku.

“Bisa telepon mama saya lagi?”

“Kemarin kan sudah, Mbak.”

Aku diam. Kemarin sudah ditelepon. Kemarinnya juga sudah. Kemarinnya kemarin, sudah juga.

“Sudah Mbak, nggak usah ditelepon lagi aja dulu. Siapa tau mama Mbak lagi sibuk. Saya juga capek neleponnya.” Sial, suster ini enak sekali bicaranya.

“Sus…” aku mulai kesal.

“Apa?” tanyanya.

“Pergi sana. Obatnya tinggal diminum aja kan? Hus, hus!” Aku mengibaskan tanganku.

Dengan wajah luar biasa sebal suster itu meninggalkan kamarku. Untuk pergi ke dapur dan meludahi makananku mungkin. Aku tak peduli. Aku melempar pandangan ke luar jendela, mulai mengarang macam-macam kesibukan ibuku yang mencegahnya datang mengunjungiku. Arisan teman-teman, pengajian, arisan keluarga, pengajian…

“Mungkin mama kamu emang sibuk?”

“Nimov! Bikin kaget aja. Sejak kapan kamu ada di situ?”

“Baru aja. Tapi aku dengar omongan kamu sama suster barusan. Kamu nggak takut makanan kamu diludahin?”

“Hahaha, kamu kok pikirannya sama kayak aku ya?”

“Itu sih ketahuan dari tampang suster tadi waktu kamu ‘hus, hus’,” ujar Nimov sambil mengulangi gerakan tanganku mengusir suster tadi.

“Kasar banget ya?”

“Nggak apa. Susternya palingan ngerti.” Nimov berjalan ke arahku mengambil kursi lipat hendak duduk di samping tempat tidur. Aku mencegahnya, “stop!”

“Aku nggak boleh duduk?”

“Kita jalan-jalan di halaman RS aja ya? Aku bosan di kamar.”


oOoOo


“Aaah… Udara luar memang enak!!!” Teriakku sesampainya kami di tempat yang agak sepi. Aku memejamkan mataku dan menarik napas dalam-dalam, menikmati segarnya udara halaman ini.

“Al…” Panggil Nimov.

“Hmm?”

“Kamu udah lama nggak ketemu mama kamu?”

“Lumayan. Mama pernah ke sini 2 kali. Pertama waktu dia nganterin aku masuk ke sini. Ke dua, sekitar 2 minggu setelahnya.”

“Kamu di sini udah berapa lama?”

“Sekitar… 7 bulan.”

“Mama kamu nggak pernah nelepon sekalipun juga?”

“Nelepon pernah… 2 kali. Tapi nggak apa. Aku nggak segitunya kangen kok.”

Nimov meletakkan tangannya di kepalaku. Mengelus-elusnya dengan lembut, “jangan bohong. Aku tahu kamu kecewa dalam hati. Iya kan?”

“Sok tahu kamu.”

“Lho, buktinya kamu tadi kesal sama si suster.”

“…”

“Aku tau kamu itu sebetulnya kesepian. Kalau kamu nggak kesepian, aku nggak bakal kamu suruh datang.”

“Jangan ikut campur.”

“Aku bukannya mau ikut campur, Alina. Maksud aku nggak jahat. Kalau maksudku jahat, aku nggak mungkin ada di sini sama kamu.”

“Lalu? Mau kamu apa?”

“Coba telepon mama kamu sendiri. Siapa tau dia mau datang kalau kamu bilang langsung ke dia. Ya? Kalau kamu nggak mau telepon di depan aku, nanti malam kamu coba ya?”

Aku diam saja. Acuh. Sok acuh, lebih tepatnya. Hingga akhirnya Nimov pergi pun aku tak berkata apa-apa. Tapi dalam kepalaku sarannya terus bergulingan, menggema tanpa henti.

Mungkin Nimov ada benarnya. Akan kutelepon mama nanti malam.


oOoOo


“Pagi, Alina.”

“Pagi, Dok.”

“Mama kamu nanti datang ke sini. Katanya kamu telepon sendiri ya? Kebetulan deh. Saya juga ada perlu sama mama kamu.”

“Oh.”

“Kok nggak semangat gini sih?”

“Nggak kok, Dok. Semangat kok.” Aku berikan senyum termanisku. Malas berlama-lama berbasa-basi.

“Ya sudah. Ini diminum ya obatnya. Nanti siang saya datang lagi. Mudah-mudahan mama kamu sudah datang.”

Mama. Sudah berapa lama aku tak menggunakan kata itu untuk memanggil orang. Enam bulan. Enam bulan dan 3 hari, kata jurnalku yang baru saja kuambil dari laci. Lebih dari cukup untuk membuat anakmu ini bertanya-tanya, Ma.

“Permisi…”

“Kenapa Sus?”

“Mau ganti seprai, Mbak…”

“Oh. Ya sudah. Kebetulan aku mau jalan-jalan keluar, Sus. Santai aja.” Aku bangkit dari posisi tidur, berjalan ke kursi roda, dan mulai mengayuh keluar ruangan.

Setelah menemukan sebuah pohon yang bayangannya cukup teduh, aku berhenti mengayuh. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, atau seseorang: Nimov. Ada sesuatu tentang dirinya yang sangat familiar. Sayang aku tak yakin darimana asalnya familiarity ini… Yang jelas dirinya bagaikan angin segar yang berhembus siang-siang. Ah, tunggu. ‘Angin segar yang berhembus siang-siang?' Jurnal!

Cepat-cepat kubolak-balik halaman-halaman jurnal yang penuh corat-coret; entah curhat, entah karangan. Kemudian kutemukan:
Angin segar yang berhembus siang-siang: itulah dia. Hari ini dia datang membawa salah satu seri Lonely Planet lagi. Duduk di sampingku. Aku hanya bisa takjub melihat jenis bacaannya. Sementara itu dia tetap menunduk ke bawah, membaca buku dengan mata coklat mudanya. Punggungnya lebar. Pasti dia suka berenang. Kalau aku tenggelam, dia bisa menyelamatkanku. Hari ini entah mengapa aku merasa dia menungguku untuk menyapanya lebih dulu. Maka aku lakukan.
Aku tersenyum membaca karanganku yang sudah lama kulupakan. Norak. Kutarik nafas panjang sambil melemparkan pandangan ke sekitar. Pelataran parkir terlihat penuh, namun kali ini aku mengenali salah satu mobil yang memenuhinya.

Secepat mungkin aku mengayuh kursi roda kembali menuju kamar. Namun bukan Mama yang kutemui, Nimov sudah menunggu di sana.

“Mamaku datang!”

“Kamu senang? Jangan bohong padaku.”

“Ya. Aku senang.”

“Bagus. Kali ini bicaralah pelan-pelan padanya. Bilang kalau kamu kangen. Bilang kalau kamu ingin ketemu lebih sering.” Dia tersenyum lembut.

I will.” aku membalas senyumnya.

“Sementara itu, kemungkinan aku nggak bisa ketemu kamu lagi, Al.”

“Kenapa? Teman kamu sudah nggak di sini?”

“Ssst..! Mama kamu sama Dokter sudah dekat. Kamu bisa dengar mereka ngobrol dari sini.”

Aku bergerak maju ke belakang pintu. Sayup-sayup obrolan mereka mulai jelas, “…arin saya ke kamarnya tapi suster yang sedang jaga bilang dia pergi berjalan-jalan.”

“Sendiri?”

“Sendiri… tapi mungkin ada orang lain bersamanya.”

“Maksud dokter?” Mereka berhenti di koridor. Suara Mama terdengar aneh. Aku tak mengerti siapa yang mereka bicarakan.

“Nimov. Mereka ngomongin siapa sih?” Nimov hanya tersenyum dan menempelkan jari telunjuknya di bibir. Dia menyuruhku untuk mendengarkan lagi.

“…rapa lama Alina ada di sini?”

“Sudah sekitar 6 bulan.”

Yang benar 7 bulan, Mama.

“Dan Ibu tidak pernah datang ke sini. Mengapa?” Aku menengok ke Nimov, menahan tawa. Jujur, aku senang Dokter bertanya kepada Mama seperti itu.

“Saya nggak pernah sempat, Dok. Lagipula, apa perlunya? Toh ada saya di sini, Alina tidak tambah sembuh.”

“Ibu tidak takut Alina menggantikan posisi Anda dengan orang lain – kalau ada orang lain?”

“Memangnya ada?”

“Sepertinya ada, Hanya Alina yang tahu. Akan saya jelaskan nanti, sekarang yang penting Ibu menemui Alina dulu. Saya tekankan sekali lagi, Anda harus bisa meluangkan waktu untuk anak Anda.” Mereka berjalan kembali menuju kamarku.

Bersamaan dengan itu Nimov berjalan ke arahku. Dia berhenti tepat di depanku kemudian rambutku diusap-usapnya, “Al, aku pamit ya. Sudah ada mama kamu sekarang.”

“Sekarang? Tapi kalian belum aku kenalin satu sama lain.”

“Nggak kamu kenalin juga nggak apa.”

“Loh, jangan gitu dong. Kamu kan udah nemenin aku kemarin-kemarin ini. Kalau nggak ada kamu aku kesepian.”

Tangannya tetap mengusap-usap rambutku, “tenang. Bisa aja sewaktu-waktu aku datang lagi. Tapi kayaknya kamu nggak akan kesepian lagi, Al,” senyumnya.

“Kamu tau dari mana?” Kutepis pelan tangannya yang ada di atas kepalaku, kesal karena dia akan pergi.

“Mama kamu datang, tuh.” Nimov membuat sebuah gerakan dengan kepalanya, menunjuk ke arah pintu.

Mama sudah ada di situ. Dia memelukku kemudian menciumku di pipi.

“Sayang, kamu lagi ngobrol sama siapa? Ada teman kamu? Siapa?” Wajahnya terlihat bingung, tampak matanya mencari-cari ke seluruh ruangan.

“Iya, sama teman aku. Kebetulan Mama udah datang. Kenalin, Ma, ini –“ Aku menengok ke Nimov.

Dia tidak ada.
(Yang ada hanya angin segar yang berhembus siang-siang.)

No comments:

Post a Comment