Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

14 June, 2012

Segurat Senja

Tahukah kamu, bahwa saat senja kala, aku selalu menutup mata dan membayangkan wajahmu. Selalu.

Aku membayangkan matahari jingga membelai pipimu, membuat matamu terpejam dan bibirmu tersenyum.

Aku membayangkan, semilir angin mengelus tubuhmu, membuatmu melingkarkan tanganmu di pinggang dan memeluk dirimu sendiri. Atau saat hatimu menginginkan... Merentangkan tangan, merengkuh angin, menyambutnya, membawanya menari bersamamu.

Dan saat langit berubah semakin gelap, aku membayangkanmu membalikkan badanmu sedikit ke belakang, mengulurkan tangan, dan mengajakku pulang.

Selalu....




***

"Ayu!"
Kamu membalikkan badanmu dengan cepat, secepat senyumanmu yang langsung terkembang ketika melihatku.

"Gimana tes-nya?" tanyamu dengan suaramu yang bagiku selalu terdengar seperti lonceng. Aku hanya mengangkat bahu. Apa yang bisa kukatakan? Bahwa sepanjang tes tadi yang bisa kupikirkan cuma wajahmu? Paling kamu hanya tertawa, menggandeng tanganku dan lantas mengajakku ke kantin.

Kamu lagi-lagi hanya tersenyum melihat reaksi malasku. Aku memindahkan ranselku, dari bahu kanan ke bahu kiri, berharap jika lengan kananku kosong, kamu yang berdiri di kananku akan lebih mudah untuk melingkarkan tanganmu.

Aku tahu, aku tahu... Seharusnya kalau aku memang segitu inginnya digandeng olehmu, kenapa bukan aku saja yang langsung menarik telapakmu dan menggenggamnya. Tapi sejujurnya, lebih mudah bagiku untuk langsung menelan kuah bakso yang baru masak dan bisa dikatakan mendidih dibanding harus melakukan hal itu. Aku memang laki-laki, tapi bukan berarti aku harus selalu berani, kan?

Jadi, aku hanya berjalan di sampingmu, dengan diam, dengan jantung yang berdebar tak karuan. Mungkin kalau aku ingin punya umur panjang, aku harus berhenti merokok dan lebih rajin olahraga, karena jantungku selalu seperti dipompa paksa seperti saat ini setiap kali aku dekat denganmu. Dan aku ingin selalu dekat denganmu.

"Lapar?" tanyamu, menatapku dengan kedua matamu yang selalu berbinar. Bagaimana caramu melakukannya? Kenapa kau selalu terlihat seolah bersinar dan bercahaya? Bagaimana caramu membuatku selalu terpaku dan membuat otakku langsung membeku hanya dengan sebuah pertanyaan sederhana?

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. "Lo?" akhirnya mulutku yang terasa kering ini bisa juga memproduksi suara, walau hanya sepatah kata.

Kamu mengangguk. Dan aku menarik napas dalam, mengatur debar jantungku, dan bersiap menggandeng tanganmu. Lalu...

"Ody!"

Hilanglah sudah semua keberanian yang dengan susah payah berhasil kukumpulkan tadi. Dengan muka kesal aku membalikkan badan dan menatap makhluk pengganggu yang sekarang berjalan ke arah kita.

"Cabut yuk!"

Aku cuma menatap makhluk tadi tanpa ekspresi, sementara makhluk mengesalkan itu terus berbicara tanpa mempedulikan mimikku. "Anak-anak dah nungguin di parkiran." Aku tetap diam. "Woi! Bego banget muka lo. Buruan, nyet!"

Kamu tertawa, dan menyentuh bahuku lembut. "Ya udah sana..." Aku menoleh ke arahmu, bingung. "Kamu hari ini harus latihan, kan?" Kamu mengingatkan. Aku menghela napas. Ah, iya. Latihan band sialan itu. Sejak kapan kegiatan yang dulu adalah salah satu kegiatan kesukaanku itu menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik?

"Nanti gue telfon," kataku canggung sambil membiarkan makhluk pengganggu tadi mendorong badanku menjauh darimu. Kamu mengangguk dan tersenyum, dan aku terpana dan menarik bibirku membentuk suatu ekspresi yang aku yakini pastilah bodoh. "Yu..."

"Cuma mau latihan dua jam, nyet! Bukan mau pergi perang, et dah!" suara makhluk pengganggu itu terdengar lagi. Aku mendelik, dan kamu terkekeh lembut.

Aku menegakkan badanku, menyentuh pipimu sekilas, menatap bola matamu yang membesar, dan lalu membalikkan badan.


***

Tahukah kamu bahwa kamu membawa cahaya ke dalam duniaku yang suram? Dan tahukah kamu bahwa kamu seperti matahari, dan bila menatapmu terlalu lama sinarmu akan membuatku kehilangan akal sehatku?

Namamu Lembayung. Seperti bias terindah matahari saat senja membentang, dan kemudian akhirnya menghilang.

Harusnya, dari namamu saja aku sudah mengetahuinya, bahwa senja hanyalah suatu waktu. Dan layaknya waktu, hal itupun akhirnya akan berlalu.

Selalu...


***

"Aku bikinin omelette, ya?" tawarmu hari itu.

"Gue nggak suka telor," jawabku tanpa berani menatap matamu.

Kamu lagi-lagi hanya terkekeh pelan, dan tetap berjalan ke dapur. Aku tidak lapar, cukup duduk di sini, di sampingku. Itu yang sebenarnya ingin kukatakan. Tapi seperti biasa, aku selalu kehilangan nyaliku setiap kali berhadapan denganmu. Bagaimana caramu melakukannya?

Bagaimana mungkin kamu menjadi makhluk paling menakutkan, paling mengintimidasi, paling mengerutkan nyali, sekaligus......paling mengadiksi? Katakan padaku bagaimana caramu melakukannya?

Aku sudah bersama-sama denganmu lebih dari ratusan hari, dan kenapa bahkan sampai detik ini tidak sedikitpun aku menjadi lebih berani? Dan kenapa kamu bahkan masih tetap berada di sampingku?

Aku tidak pernah memujimu. Ya Tuhan, aku bahkan tidak pernah mengatakan apapun tentang betapa berartinya kamu. Aku tidak pernah menunjukkan bahwa kamu, betapa gombalnya hal itu terdengar, adalah pusat duniaku.

Yang aku lakukan hanyalah berjalan di sampingmu, dalam diam, lebih seperti bayangan. Menemanimu kemanapun rasanya kakimu ingin melangkah. Melakukan apapun yang kamu minta, karena aku tidak memiliki keberanian, dan juga keinginan untuk menolakmu. Membiarkanmu mengandeng tanganmu kemanapun kita berjalan karena aku tidak memiliki cukup nyali untuk menarik tanganmu terlebih dahulu.

Aku bahkan tidak pernah mengatakan sesuatu yang lucu. Sesuatu untuk membuatmu tertawa, sesuatu untuk membuatmu senang, sesuatu untuk menambah binar di kedua matamu. Tapi entah bagaimana kamu selalu tersenyum, dan kamu selalu memiliki suatu hal untuk membuatmu tertawa, dan lalu kamu akan membaginya denganku.

Dan aku ingin melakukannya, sungguh mati aku ingin. Aku ingin pandai bercerita, agar kata-kataku bisa membuatmu senang, agar aku bisa membuatmu tertawa. Agar kamu melihat ke arahku dengan matamu yang akan berbentuk seperti bulan sabit yang bercahaya,  dengan kepalamu yang sedikit dimiringkan ke kiri, dan rambutmu jatuh terjuntai menyentuh bahumu, lalu pipimu akan bersemu merah, seperti yang selalu kamu lakukan setiap kali kamu tertawa.

Dan di atas semuanya, aku ingin pandai merangkai kata agar aku bisa, walau hanya sekali saja, mengatakan bahwa bagiku kamu--

"Nih, dimakan..."

Kamu duduk di sampingku dan meletakkan piring yang sekarang berisi omelette gemuk dengan berbagai isi di dalamnya. Lalu kamu mengatur sepasang garpu dan pisau, menyodorkan serbet dan lalu berbalik menghadapku dan menatapku penuh harap.

Apalagi yang bisa kulakukan selain memakannya?

Telur? Apakah tadi aku bilang aku benci telur? Lupakan saja. Telur sekarang adalah makanan favoritku.

Omelette ini rasanya sempurna.

Seperti kamu.


***


Dentingan gitar. Sudah berapa lama aku berhenti membuat gitar ini berdenting. Tapi hari ini aku melakukannya lagi.

Pagi hari tadi aku bangun dari mimpi bahwa kamu mendekapku sangat erat, dan lalu diantara tarikan napasmu, kamu berbisik "bernyanyilah untukku..."

Dan inilah yang aku lakukan sekarang.

Dengarkan dentingannya, karena untuk saat ini hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu. Karena untuk mengeluarkan suara dan menyanyikan kata-kata aku masih belum bisa.

Tapi bahkan sampai hari ini, semua yang kamu minta akan selalu aku lakukan.

Walaupun permintaan itu hanya kamu sampaikan lewat mimpi.


***

Hari ini kamu berulangtahun.  Dan aku stress setengah mati.

Apa yang bisa aku berikan untukmu? Apa yang cukup bagus, apa yang cukup berarti, apa yang cukup sesuai untuk orang seperti kamu?

Aku ingin memberimu bunga. Aku bahkan sudah membelinya. Tapi bunga itu hanya akan layu setelah beberapa hari.

Aku ingin memberimu perhiasaan. Sesuatu yang kemilaunya akan membuatmu semakin bercahaya. Tapi, selain aku tidak mampu, semua kemilau perhiasaan itu hanya akan terlihat palsu jika didekatkan denganmu.

Jadi aku melakukan satu-satunya hal yang aku bisa. Aku membuatkanmu sebuah lagu.
Kamu selalu suka setiap kali mendengarku bernyanyi, aku menyukai mimik wajahmu setiap kali kamu mendengarkan. Dan mungkin, dari rangkaian nada dan beberapa patah kata ini, kamu akhirnya bisa mengetahui betapa berharganya kamu.

Dan di sinilah kita sekarang. Duduk berdua dengan sebuah ukulele dan tikar jerami. Kamu memintaku membawamu ke pantai, dan di pantailah kita sekarang berada.

Senja sebentar lagi akan tiba, dan langit akan segera dipenuhi dengan warnamu. Jadi aku mulai memetik ukulele-ku, mendentingkan beberapa nada yang dengan susah payah kucoba rangkaikan selama sebulan terakhir ini. Kamu duduk menghadapku, memegang topi lebarmu agar tidak hilang bersama angin, memiringkan sedikit kepalamu, dan menunggu.

Aku berdeham beberapa kali. Berusaha membersihkan tenggorokanku yang rasanya seperti dipenuhi pasir. Aku memetik ulang ukulele-ku, memainkan nadanya dari awal lagi. Dan setelah beberapa kali akhirnya lagu itu mengalun juga. Hadiah ulangtahunku untukmu.

Semilir angin membelai senyummu, dan matamu berkilauan di bawah cahaya lembayung. Dan kamu tak pernah terlihat lebih cantik dibanding hari itu.

Kamu lalu mengecup pipiku. Aku meletakkan ukuleleku, dan mengangkatmu ke pangkuanku. Dan mumpung aku masih punya nyali, akupun memintamu...

"Mau jadi istri gue nggak?"

Menanggapi lamaran paling bodoh dan paling tidak manis itu, kamu tertawa.

Dan mengangguk.


***

Apakah kamu tahu bahwa kamu membuatku bahagia sampai aku nyaris gila saking takutnya? Bersamamu semuanya terasa begitu sempurna. Dan mudah.

Mungkin terlalu mudah.

Hanya dengan keberadaanmu kesedihan menjadi tidak relevan. Kesalahan jadi tidak berarti. Kamu membuat keberadaanku menjadi benar.

Tapi, tentu saja tidak ada yang seperti itu.

Orang sepertiku tidak berhak untuk menjadi benar terlalu lama.

Dan orang sepertiku juga tidak berhak untuk menjadi bahagia selalu...


***

Kita tinggal di suatu apartemen kecil yang tidak terlalu jauh dari kampus kita dulu. Tempat pertama aku bertemu denganmu.

Aku bersamamu sudah hampir mencapai seribu hari. Dan sudah hampir tiga ratus hari lamanya kita menikah. Dan apa yang aku rasakan untukmu tidak pernah berkurang sedikitpun. Apakah normal untuk merasa seperti itu?

Tapi mungkin memang begitulah keadaannya jika mencintaimu. Bagaimana mungkin aku merasa sebegini bahagia hanya karena aku mencintaimu?

Akhirnya aku berani mengatakannya kepadamu. Dengan terbata-bata dan dengan punggungku yang dialiri keringat dingin. Kenapa harus sebegitu menakutkannya mengatakan satu-satunya hal yang aku yakini dalam hidupku?

Malam itu aku sedang di dalam studioku, mengutak-ngatik gitar berharap menciptakan suatu lagu yang lain. Dan lalu kamu datang membawakanku makanan.

Kamu meletakkan sandwich itu dengan hati-hati dan lalu memelukku dari belakang. Aku menyukai bagaimana kamu sepertinya sangat suka menyentuhku. Aku suka bahwa kamu selalu ingin berada di dekatku. Selalu ingin meletakkan tanganmu di badanku. Dan selalu suka merebahkan kepalamu di bahuku setiap malam saat kita tidur. Dan aku selalu suka memelukmu.

Aku tahu aku tidak terlalu sering melakukannya. Maafkan aku. Kalau aku bisa, aku ingin selalu mencium dan memelukmu. Tapi aku tidak bisa menghilangkan ketakutan bahwa mungkin saja saat itu kamu tidak ingin kupeluk. Jadi aku selalu menjaga jarakku.

Maafkan aku karena menjadikanmu pihak yang harus selalu mendekati lebih dulu. Maafkan aku karena tidak bisa membanjirimu dengan pelukan dan ciuman. Maafkan aku karena tidak bisa menjadi orang yang hangat. Yang bisa mengatakan betapa cantiknya dirimu setiap hari, yang akan mengecup pipimu setiap pagi, dan yang selalu mengingatkanmu bahwa kamu dicintai.

Jadi, karena itu semua, aku memutuskan untuk mengatakannya kepadamu malam itu.

Aku meletakkan tanganku di atas tanganmu yang memelukku. Dengan perlahan aku membalikkan badan dan menunduk menghadapmu yang tidak lebih tinggi dari daguku. Aku bisa merasakan tanganku gemetar--ya bodoh memang karena bagaimanapun juga aku adalah suamimu--ketika aku dengan perlahan memegang dagumu.

"Yu..."

Kamu mendongak menatapku dengan matamu yang entah kenapa selalu berbinar ketika melihatku.

"Gue-- Aku..." aku berdeham dan menarik napas panjang. Kenapa harus sesulit itu aku tidak tahu. Kamu selalu mengatakan bahwa kamu mencintaiku setiap hari, dan sepertinya hal itu tidak sulit bagimu. Sambil membulatkan tekad aku berusaha mengumpulkan nyaliku. "Aku..." Kamu mengelus punggungku. Mengusap-ngusapkan telapak tanganmu di atas kemejaku yang mulai lembab karena keringat.

Aku mengencangkan pelukanku di pinggangmu. Aku menarik napas panjang sekali lagi dan akhirnya berbisik cepat, "gue cinta sama lo!" akhirnya aku mengatakannya. Atau lebih tepatnya membentakkan kata-kata itu keluar dari mulutku.

Kamu tertawa kecil, lalu mengangkat tanganmu untuk mengusap pipiku.

"Makasih, ya," katamu. Aku bisa merasakan mataku melebar. Kamu lalu mengecup bibirku cepat. "Makasih karena sudah rela bersusah payah untuk akhirnya bilang." Kamu mengecup bibirku lagi. "Makasih karena tetap mau mengatakannya walaupun hal itu bikin kamu berkeringat dingin." Dan lalu kamu mengecup bibirku lagi, kali ini lebih lama. "Dan makasih karena mencintaiku sedemikian besarnya sampai membuat dirimu sendiri ketakutan," katamu sambil tersenyum.

Kamu lalu memelukku sangat kencang. "Ody..."

"Hmm..."

"Aku selalu tahu, kok. Aku selalu tahu apa yang kamu rasakan, dan itu cukup. Jadi lain kali kamu nggak perlu bersusah payah bilang."

Aku membenamkan wajahku ke rambutnya.

"Tapi gue mau..."

"Iya, aku tahu." Dia menarik badannya sehingga bisa menatapku dengan lebih baik.

"Tahu bahwa kamu merasakannya saja sudah cukup. Kamu tidak terlalu pintar menyembunyikan perasaanmu," katamu sambil mengedipkan mata.

Lalu kamu menggandeng tanganku menuju kamar.

Sandwich buatanmu terlupakan untuk malam itu.


***

Lembayung.

Dengan semua bayangan tentang kamu aku memasuki pintu kios kecil itu.

Seorang laki-laki berbadan besar dengan kaus hitam menghampiriku. Dia menatapku dengan matanya yang gelap.

Aku menyodorkan kertas kecil bertuliskan namamu. Dia mengangguk singkat dan mengajakku ke bilik kecil di bagian belakang kiosnya.

Aku membuka kausku dan menunjuk ke dada kiriku. "Di sini." Laki-laki itu lagi-lagi hanya mengangguk.

"Nama bini?" tanya dia kemudian sambil bekerja.

Aku mengangguk. Membayangkan senyummu. Membayangkan rasa kulitmu, wangi rambutmu, denting suaramu. Membayangkan hari-hari yang seharusnya kita miliki bersama.

"Almarhumah..."

Lelaki itu terdiam, namun tak lama kemudian mengangguk lagi. Meneruskan pekerjaannya yang sedang melukiskan namamu secara permanen di atas jantungku.

Ah Lembayung. Apa yang harus kulakukan tanpamu?



1 comment:

  1. Bagus bangeet. Awal baca biasa. Tapi pas bagian Ody bilang cinta aku nya jd seneng. Bagian slnjtnya yang Ody bilang "Almarhumah." aku nya jd sedih.

    Good writing!:)

    ReplyDelete