Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

08 October, 2011

Sst...

“Mendekatlah...”
Aku memiringkan badan. Sambil sedikit menarik bahuku, dia berbisik, “aku sudah memutuskan.”
“Aah, baiklah. Kapan?”
Dia tersenyum misterius, “besok,” ujarnya yakin.
Aku mengerutkan kening, “besok? Apakah tidak terlalu cepat? Apa kau sudah menyiapkan segalanya?”
“Tentu saja. Lagipula, kau akan membantuku, kan?”
“Tentu saja!” tegasku. “Tapi, apakah kau sudah memutuskan caranya?”

Lagi-lagi dia tersenyum, matanya berkilat senang, “Aku sudah menyiapkan beberapa pilihan, tapi aku belum benar-benar menentukan. Mungkin kau bisa membantuku.”
Aku mengangguk.
Dia menggosokkan telapak tangannya dengan semangat. “Bagaimana menurutmu dengan mobil? Bersih, ringkas, dan tentunya tak akan merepotkanmu nantinya.”
Aku menimbang-nimbang, “pilihan apalagi yang kau punya?”
“Atap gedung. Sangat cepat dan mudah. Tapi mungkin akan sedikit berantakan, walau tentunya hal itu juga tidak akan merepotkanmu.”
“Aku tidak suka dengan gedung, terlalu menarik perhatian. Adakah pilihan lain yang tidak melibatkan keramaian?”
Dia menggaruk dagunya, “mungkin,” katanya acuh.
Aku duduk diam, menunggu.
Dia bicara lagi, “bagaimana dengan pil?”
Aku mengangkat sebelah alis, “tapi kau kan tidak suka obat.”
“Iya memang, tapi kalau kau mau, buatku tidak masalah.”
Aku menatapnya, dia balas menatapku, “sebenarnya cara apa yang paling kau inginkan?”
Matanya kembali bersinar, dia berbisik jenaka, “dari pesawat. Dari ketinggian ribuan meter. Bisakah kau bayangkan sensasinya?”
Aku menggeleng.
“Bayangkan badanmu meluncur cepat, ditarik oleh gravitasi. Kau melesat melewati awan, angin dengan keras menamparmu, pandanganmu kabur karena segalanya berlangsung begitu cepat. Tapi kau masih bisa melihatnya sekilas: hijaunya pohon, birunya langit, putihnya awan, dan kemudian pemandangan itu berganti menjadi warna abu-abu dan coklat dari perkotaan. Cahaya matahari yang silau akan membutakan matamu ketika sinarnya dipantulkan oleh air laut. Tapi justru itu yang kau nanti, ketika kau akhirnya terpaksa memejamkan matamu dan meresapi semua sensasi lainnya. Mendengar suara angin, dan akhirnya dinginnya air yang menusuk, menghujam, dan kemudian akhirnya hitam.” Dia sedikit terengah.
Aku terpana, aku terpesona, “benarkan akan seindah itu?”
Dia mengangguk mantap, “tentu saja.” Tapi dia lalu menatapku dengan tajam, “tapi kau tidak boleh melakukannya, setidaknya, tidak denganku.”
“Kenapa?”
Dia lagi-lagi hanya tersenyum misterius. “Tapi tenang saja,” katanya lagi, “aku tidak akan memilih pesawat. Cara itu kuhadiahi saja untukmu, karena sepertinya kau akan lebih menyukainya.”
Aku mengangguk ragu. “Lantas, cara apa yang akhirnya akan kau pilih?”
“Mobil.”
Aku tersenyum, “aku memang paling suka cara itu.”
“Tentu saja, makanya aku pilih.”
“Besok?” tanyaku memastikan.
“Besok,” angguknya. “Di pantai tempat kita pertama bertemu.”
“Baiklah, tempat itu memang sangat indah. Oh!” Seruku tiba-tiba.
“Apa?”
“Kau harus melakukannya saat matahari terbenam.”
Dia tertawa, “Tentu saja, kapan lagi menurutmu aku akan melakukannya.”
Aku hanya tersenyum malu. Kami bertatapan lagi.
“Baiklah,” katanya menyudahi.
“Baiklah.”
“Kau akan menemaniku, kan?”
Aku mengangguk, “aku akan ada di sebelah pintumu.”
Dia tersenyum senang, tapi lalu terlihat ragu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Bisakah kau menyanyikan sebuah lagu?”
“Sekarang?”
“Bukan,” gelengnya. “Besok, saat matahari terbenam. Aku akan membawa telfonku.”
“Baiklah, Ada permintaan spesial?”
Dia menggeleng. “Apa saja, pilih lagu apa saja. Yang pasti, bernyanyilah untukku.”
Aku mengangguk.
Dia menggenggam tanganku. “Aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu.”
“Besok aku akan mati.”
“Aku akan menemanimu.”
“Ssst,” bisiknya. “Rahasia, ingat?”
“Ingat.”
“Baiklah. Sampai besok.”
“Sampai besok.

No comments:

Post a Comment