Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

17 September, 2011

Rumah Pohon

a sneak peek

“Hayoook!” Adith menyeret Nina melintasi halaman belakang.

“Tapi Sinar sama Naren mau pergi mancing,” Nina yang terseok-seok di belakang Adith berusaha melepaskan diri.

Adith nggak memperdulikan Nina dan hanya terus menariknya, sampai akhirnya mereka berhenti di depan pohon apel raksasa yang sedang berbuah. “Lihat!” kata Adith sambil menunjuk ke atas. Di salah satu dahannya yang besar, sebuah rumah pohon kecil baru saja selesai dibangun. Nina yang masih berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Adith langsung terdiam. “Gue sama Papa bikin kemarin, Sinar juga bantuin sih, dikit,” katanya lagi sambil cemberut, nggak mau mengakui kalau kakaknya itu juga turun tangan.



“Baguus...” kata Nina setengah terperangah. Adith hanya mengangkat bahu. “Adith, baguuuus!” Nina memegang kedua tangan Adith sambil meloncat-loncat kegirangan. “Sekarang kita punya tempat main yang bakalan di recokkin sama Ibu, deh. Terus kita bisa simpen semua kelereng kita!”

Adith nyengir melihat reaksi Nina, dia sudah tahu monyet ini pasti bakalan suka banget sama rumah kayu di atas pohon itu. Apapun yang letaknya di atas pohon, dia pasti suka.

“Ajak Sinar sama Naren kesini, yuk!”

Adith langsung cemberut. “Karena ini bikinnya di rumah gue, jadi gue yang jadi bossnya, ngerti?!” Adith memasang muka galak terbaiknya. “Naren sama Sinar nggak boleh naik kesini!”

“Huu, selalu aja gitu. Curang!” Nina merajuk.

Adith nggak peduli, dan mulai memanjat tangga dari tali yang dipasang Papanya. “Ya udah, kalau nggak mau berarti lo nggak boleh naik.” Sesampainya di atas, Adith berdiri berkacak pinggang. “Pulang aja sana!” Sambil menghentakkan kakinya, Adith masuk ke dalam rumah mungil itu.

Dia mulai menyusun mobil-mobilan yang tadi di bawanya naik, juga beberapa action figure berbentuk robot, cowboy, sampai super heroes. Lalu dia menarik sebuah kotak makan plastik dari balik pintu, mengintip isinya dan menghela nafas. Dia meletakkan tempat makan tadi dengan hati-hati lalu berdiri. Dari jendela kecil rumah mainan itu Adith melihat ke bawah. Nina masih berdiri di tempat yang sama, mendongak ke arah pintu rumah yang ada di dinding kanan jendela. Mukanya basah, dan merah. Monyet itu menggigit bibirnya kuat-kuat supaya isakkannya terendam. Adith menghela nafas lagi. Dengan pelan dia keluar, dan berhati-hati menuruni tangga.

Dengan kasar dilapnya pipi Nina. “Kenapa sih anak cewek itu bisanya cuma nangis?!” Nina nggak menjawab, hanya berdiri sambil terisak-isak. “Udah jangan nangis, lagi. Iya lo boleh naik, tapi jangan nangis lagi, ya!” Nina mengangguk sambil berusaha lebih keras menahan isakkannya. “Dan lo nggak boleh bilang sama Naren kalau lo tadi nangis, ngerti?!” Nina mengangguk lagi.

Adith mengandeng tangan Nina dan membantunya memanjat, bukan berarti Nina butuh bantuan mengingat dia punya darah monyet, cuma dia kan habis nangis. Di dalam rumah itu Nina masih agak diam, tangannya memainkan mobil-mobilan berwarna pink yang dibelikan orangtua Adith khusus buat Nina. Adith bermain dengan Superman dan Saint Seiya sambil diam-diam memperhatikan Nina. Sebenarnya Adith nyesal setengah mati bikin Nina nangis, walau dia memang nyebelin, tapi bukan berarti Adith suka bikin dia nangis.

Belum lagi kalau Naren, kakak Nina, tahu dia bakalan ditonjok, terus nanti Sinar bakal ikutan nonjok. Adith cemberut, sebenarnya Sinar itu abangnya atau abang Nina sih? Kenapa juga dia selalu membela Nina, apa gara-gara Nina cewek? Tapi terus kenapa? Kelakuannya Nina juga nggak ada bedanya sama Adith, suka main kelereng, jago mecahin biji karet, suka mobil-mobilan dan, walau Adith nggak bakal mau ngakuin, lebih jago manjat pohon dibanding Adith. Tapi kenapa dia kayak selalu dapat perhatian khusus dari Naren dan Sinar, dan Adith juga dipaksa buat melakukan hal yang sama. Dan kenapa juga sebenarnya Adith senang melakukannya.

Tapi, yang paling nyebelin, kenapa Nina lebih suka Sinar dibanding Adith. Apa-apa selalu Sinar, maunya main kalau ada Sinar, pas main benteng harus sekelompok sama Sinar, kalau ke rumah Adith yang ditanya pertama selalu Sinar. Huh. Padahalkan yang selalu setia nemenin Nina main itu Adith, yang nemenin Nina tiap hari beli limun kesukaannya Adith, yang ngajarin Nina cara ngadu biji karet Adith, yang rela duduk lama-lama di depan TV buat nonton kartun Disney juga selalu Adith. Walau Adith sebenarnya suka juga sih, tapi kan tetap aja.

Adith berdeham, Nina nggak memperdulikannya, pura-pura asik dengan mobilnya. “Noy?” Nina tetap cuek. Adith menggretakkan giginya, tapi lalu mencoba lagi, “Noy...” Tetap nggak ditanggapi, hanya dikasih lirikan singkat. Adith ngomel dalam hati, dan akhirnya bilang, “Na...” Berdeham lagi. “Maaf ya...” Nina akhirnya benar-benar melihat ke arah Adith, dan menggangguk singkat. “Lo suka nggak rumahnya?”
Nina akhirnya tersenyum, manis banget. “Suka.”

Dan hati mungil Adith terasa hangat, panasnya sampai ke pipi. Dia buru-buru menundukkan mukanya dan tersenyum diam-diam. Rasanya perjuangan ngerayu Papa sebulan ini sama sekali nggak berarti dibanding senyum Nina barusan. Adith mengambil kotak makan tadi dan menyerahkannya ke Nina. “Nih.”

Nina menerimanya dengan mimik bingung, lalu membuka tutupnya. Matanya langsung membulat senang, dan menatap Adith nggak percaya. “Adith dapet darimanaaaa??” serunya sambil meraup segenggam benda di dalam kotak makan itu.
“Ngumpulin, lah,” jawab Adith acuh.

Nina mengangkat benda tadi pas ke depan matanya, dan membiarkan cahaya matahari menerobos bola-bola kaca berwarna merah jambu itu. Bayangan mereka menari-menari di matanya yang besar. Dengan hati-hati di dekatnya bola-bola tadi ke dadanya, seolah-olah sedang memeluk mereka. Salah satu bola itu jatuh dan menggelinding ke arah Adith. Dia mengambil kelereng merah jambu itu dan menyodorkannya kembali ke Nina.
“Makasih, ya, Adith.” Lagi-lagi Nina tersenyum, bahkan kali ini lebih manis. Dia mengambil kelereng itu dan mengangkatnya tinggi. Sambil menyepitkan sebelah matanya, Nina sekali lagi menghadapkan kelereng itu pada matahari. Pipinya berkilau dengan cahaya berwarna pink, dan rambut coklatnya bersinar seperti halo di kepalanya. Menurut Adith, Nina lebih cantik di banding Aurora, putri tidur yang baru mereka tonton tadi pagi. “Aku suka banget kelereng ini. Ini sekarang barang kesukaan aku sedunia.” Katanya sambil memeluk kotak makan yang penuh dengan kelereng merah jambu itu.

“Kesukaan?”

“He-eh.”

“Paling suka?”

“Iya.”

Adith menatap Nina lurus. “Dibanding apapun juga?”

Nina membalas tatapan Adith. “He-eh.” Dia mengangguk mantap.

Adith tersenyum senang, memperlihatkan sebuah lesung di pipi kirinya. Gue juga Na, batin Adith. Gue juga paling suka lo sedunia.
Dan rumah pohon itu menjadi tempat mereka setiap hari, terkadang berempat dengan Naren dan Sinar. Dua anak yang lebih tua itu selalu berlagak bosan, tapi sebenarnya senang menghabiskan waktu di dalamnya.

12 tahun kemudian, rumah pohon itu dirobohkan. Oleh mereka bertiga, pada malam Naren dimakamkan.

No comments:

Post a Comment