Cangkir kopi kedua. Dalam satu jam ini.
Hitam, panas, dan kental.
Aromanya memenuhi rongga hidung, memaksa mata terpejam, dan bibir tersenyum. Rasanya kau hanya ingin menempelkan cangkir panas itu ke pipimu. Membiarkan kehangatannya menyebar dan membiaskan sedikit rona merah.
Kau memandang ke luar. Hujan turun dengan deras. Derainya menghantam permukaan danau yang hijau, lebih cerah dan bersih sekarang, dibanding ketika kau masih menjadi pengunjung harian tempat ini.
Namun sekarang, mulai dari tiga hari yang lalu ketika kau pertama kalinya menjejakkan kakimu lagi di tempat ini, kau bertekad akan selalu kembali kesini. Kau bertekad untuk menjadikan tempat ini rumahmu lagi. Karena, sama seperti bertahun-tahun dulu, tempat ini terasa seperti rumah. Tempat kau kembali menemukan sepenggal jiwamu yang sempat hilang.
Kau ingin kembali seperti dulu. Lengkap, tanpa kehilangan penggalan yang tercecer. Kau ingin senyummu berbinar di matamu. Kau ingin hatimu terasa sedikit sakit ketika melihat anak-anak kecil berjualan koran, atau membawa gitar usang, bukannya memalingkan wajah dengan mata beku, dan berlalu tak peduli. Kau ingin menyapa dan memulai percakapan dengan orang asing, yang tak selalu menjadi teman baru, kebanyakan segera kau lupakan, tapi terkadang membuat harimu terasa lebih baik. Bukannya memasang ekspresi acuh, dan memberi kerutan ketika mereka mengambil bangku disampingmu, atau membalikkan badan ketika mengantri di depanmu.
Kau ingin kembali bisa bercakap-cakap dengan supir taksi, bukannya langsung memasang earphones-mu dan bungkam menatap ke luar jendela. Kau ingin merasa senang, ketika mereka membawamu ke jalan-jalan tikus, bukannya langsung curiga, berpikir mereka mengajakmu berputar-putar sehingga argonya semakin besar.
Lalu ketika ada laki-laki yang mendekatimu, kau ingin hatimu merasa hangat, pipimu bersemu merah, dan senyummu lebar. Kau ingin bertingkah tidak logis, dan membayangkan masa depan dengan bungan mawar, balon, dan cincin. Bukannya membiarkan telponmu terus berdering ketika mereka menghubungi, atau mengarang alasan agar tidak bisa ditemui. Kau tidak ingin menatap mereka dengan tatapan bingung dan kening berkerut, sambil berusaha mencari-cari, apakah ada kupu-kupu yang sayapnya berdesir di perutmu.
Dan yang pasti, kau ingin kembali bermimpi. Kau ingin menumpuk dan menyimpan harapan. Cita-cita untuk kau kejar, sesuatu untuk kau nanti agar terjadi. Kau ingin jantungmu berdebar, dan bibirmu membisikkan, "Suatu hari nanti..." Kau ingin berhenti ketakutan, bahwa hidupmu telah berlalu begitu saja. Bahwa ternyata suatu hari itu telah tiba, dan kau masih di tempat yang sama, sementara kau merasa terlalu...usang untuk menciptakan suatu hari yang lain.
Kau ingin berlari, kau ingin menari, kau ingin bernyanyi. Kau ingin larut bersama hari, bersinar di bawah mentari. Dan kau ingin memberi inspirasi.
Kau ingin merasa yakin bahwa hidupmu memang adalah suatu film, suatu susunan drama yang penting, menarik, dan penuh misteri. Yang membuat penonton terpaku di bangku mereka, terpesona pada sang pemeran utama. Kau ingin mereka terkesiap ketika hal buruk terjadi, lalu berkomat-kamit membaca doa, agar semua keburukan segera berlalu. Dan kemudian mereka bertepuk tangan, bangga karena sang pemeran utama berhasil bangkit, menata dramanya secara mengagumkan. Dan kemudian mereka berkaca-kaca dan akhirnya menitikkan air mata, terharu ketika sang pemeran utama akhirnya bahagia.
Kau menyeruput kopimu, panasnya hampr membakar lidahmu, tapi kau menikmatinya. Seperti sedikit rasa sakit lainnya yang kau nikmati akhir-akhir ini. Karena terkadang hanya rasa itu yang kau rasakan.
Lagi-lagi kau menatap keluar, hujan mulai reda, bias cahaya mulai menampakkan diri di balik awan yang sendu dan kelabu. Lagi-lagi kau tersenyum. Kau ingin menepuk-nepuk awan itu, kenapa harus bersedih? Bahkan kelabu tak selamanya suram. Kau ingin menjulurkan tangamu keluar, merasakan tetesan hujan yang dingin di tanganmu, membiarkan sejuknya menyelimutimu. Tapi dinding, walaupun kaca tetap adalah penghalang. Namun senyummu tak hilang, terkadang memandang saja sudah cukup.
Kau meletakkan kopimu, sudah tak sepanas sebelumnya, tapi rasanya tetap sempurna. Kau menumpukan wajahmu di atas telapak tangan, memandang jauh kedepan. Hmm. Keningmu sedikit berkerut. Kapan terakhir kali kau menatap jauh? Rasanya belakangan ini pandanganmu selalu terbentur sesuatu, matamu selalu terhalangi, namun lebih sering, kau hanya terlalu jemu. Kau merasa tak ada untungnya menatap jauh, karena mereka tak akan terlihat jelas, jadi untuk apa berusaha? Tapi bukankah sekarang kau ingin memiliki sesuatu untuk kau perjuangkan? Kau ingin kembali memiliki alasan, kau ingin memiliki tujuan.
Kau ingin menyusun jalur, menata langkah, bergerak menuju suatu tempat yang sudah terlalu lama kau lupakan. Kau ingin berhenti merasa takut. Kau ingin tak lagi merasa jemu. Kau ingin berhenti berdiam diri dan menanti. Kau ingin bergerak, kau ingin beranjak. Kau ingin melesat, cepat, tak tertahan oleh gravitasi yang sebenarnya kau ciptakan sendiri.
Kau ingin menjadi kau. Kau yang dulu. Kau yang lalu. Kau yang sempat kau kubur dalam-dalam. Kau sembunyikan rapat-rapat karena kau tak lagi mengenalinya. Kau yang penuh mimpi. Kau yang berani. Kau yang sedikit tak tahu diri. Yang tak menyerah. Yang tak mengaku kalah. Yang menangis dan tertawa. Yang tersenyum dan mengerling bahagia. Kau dari kehidupan sebelumnya.
Mungkin waktunya untuk bertemu kembali.
Hujan akhirnya berhenti. Kau memeluk cangkir kopimu dengan kedua tangan. Kopi hitam itu sekarang sudah dingin, tapi lagi-lagi rasanya tetap sempurna. Kau memejamkan matamu, kembali menghirup aromanya, masih terasa sama.
Senyummu merekah, lebar, dan matamu berbinar. Kau akhirnya mengerti.
Walaupun berubah, bukan berarti menjadi lebih tidak sempurna.
Kau menolehkan kepalamu. Sisa-sisa air hujan mengalir seperti air mata di jendela kaca. Untuk nantinya menguap bersama matahari.
Dan di atas danau hijau itu, kau lihat pelangi.
Yang memang selalu datang, ketika hujan akhirnya berhenti.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment