"Buon giorno, Giacomo," signor Franco menyapaku di tengah-tengah kegiatan pagi harinya: menyapu bagian depan deli kecil miliknya.
"Buon giorno, Signor," kubalas sapaannya, "como stai?"
"Migliore. Berkat obat yang kamu belikan kemarin," tawanya sambil menepuk bahuku, "va bene. Kamu siap untuk hari ini?"
"Si, Signor. Saya siap. Hari ini ke mana?"
"Hari ini hanya ada 1 kiriman. tapi agak berat. Dia baru datang kemarin. Kamu tahu Albarada? Via Valdirivo?
"Eh?" aku menggaruk-garuk kepalaku bingung, "D'ove la via?
"Mi Dio. Pokoknya kamu jalan saja ke arah Trieste Centrale, lurus lagi. Nanti kamu tanyakan saja lagi letak hotelnya ke orang. Oke? Sekarang kamu ambil barang-barangnya di dalam, lalu antarkan langsung."
"Oke, Signor. A presto!"
Beginilah kerjaku sehari-hari. Mengantarkan belanjaan ke rumah-rumah orang. Sebenarnya tak ada keharusan untukku melakukannya. Aku ini baru saja memulai semester ketiga kuliah. Tapi ibuku tak bisa menghidupi kami sendirian. Ayahku sudah berhenti absen ke rumah sepulang kantor sejak 5 tahun yang lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Entahlah. Mungkin dia pulang ke negara asalnya.
"Signor! Scusi," aku menghampiri seorang penjaga kios koran di depan stasiun, "Dov'e la Via Valdirivo?"
"E li," jawabnya sambil menunjuk sebuah jalan tak jauh dari tempat kami berdiri.
Setelah mengucapkan terima kasih, kuayun lagi langkahku menuju arah yang ditunjukkan bapak tadi. Hotel Albarada yang dimaksud Signor Franco ternyata tak susah dicari. Namanya terpampang besar di sebuah bangunan tua. Tapi letaknya yang ternyata di lantai ketiga membuatku terengah-engah. Signor Franco seharusnya memperingatkanku sebelum aku berangkat membawa kardus berisi belanjaan ini.
"Un minuto, per favore!" Terdengar suara dari balik pintu yang belnya baru saja kutekan. Suara wanita. Dan benar, ketika akhirnya pintu terbuka, ada seorang wanita cantik yang berdiri di sana. Ups, ralat. Maksudku seorang gadis cantik yang berdiri di sana. Sepertinya dia seumuran denganku.
"Ciao," ujarku. "Vengo trasportare questo," sambungku lagi. Wajahnya terlihat bingung, jadi kuangkat sedikit kardus yang kubawa agar ia melihatnya.
"Ah. Si, si. Entrato, signor," ujarnya mempersilahkanku masuk dengan kalimat yang terputus-putus. Dia terlihat canggung dengan adanya diriku di kamarnya. Aku maklum saja. Dia pasti datang dari jauh. Wajahnya melayu, kulitnya kurang lebih sama seperti ayahku.
"Mi chiamo Giacomo," ujarku memperkenalkan diri setelah meletakkan kardus Signor Franco di meja. "E tu?"
"Sono Tia," jawabnya sambil membalas jabatan tanganku. "Scusi, Signor. Io, non parlo l'italiano tanto bene quanto l'inglese. Parla inglese?"
Ah ternyata dia belum bisa berbahasa Itali terlalu baik. Untung saja aku belum menyambarnya dengan sederetan kalimat italia.
"Yes, I can speak English. But not so much. I live here since little."
"I'm so sorry to trouble you, then."
"No, it's okay. Pardon my italian accent."
"You have a very nice Italian accent," dia tersenyum padaku. Manis sekali.
"Grazie. Thank you."
"How much do I owe you?" Dia meraih dompetnya.
"Ah! Nothing. You pay to Signor Franco. Not me."
"I'm sorry I can't offer you anything. As you see, i haven't unpack yet and my groceries had just arrived."
"It is fine. Very well, i have to be going."
"So soon? What a shame. Maybe I'll see you around."
"Yes, that will be good. Goodbye. Good day to you."
"Grazie!"
"Non c'e di che,"ujarku sambil tersenyum sampai dia menutup pintu kamarnya kembali.
Beranjak dari hotel itu, aku seperti orang gila. Tersenyum-senyum sendirian. Bersenandung ke lagu entah lagu apa. Menendang-nendang kerikil-kerikil yang muncul di jalan. Jatuh cinta.
"Signor!" akhirnya aku sampai di deli Signor Franco. Kutepuk bahunya pelan dan dia membalikkan badannya ke arahku.
"Giacomo! Kau sudah kembali? Barangnya sudah kau antar?"
"Sudah. Hotelnya mudah dicari. Ada lagi pekerjaan untukku, Signor?"
"Tidak. Kau boleh pulang. Grazie mille."
"Piacere, Signor," kutepuk-tepuk lagi bahunya sebelum aku berjalan pulang sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam kantong dan mulai bersiul-siul. Begitu selesai aku menyeberang jalan, terdengar suara Signor Franco memanggilku.
"James!" itu nama yang ia gunakan untuk memanggilku kalau dia akan berbicara dengan bahasa Inggris. Aku pun menengok ke arahnya.
"Yes?"
"What do you think, eh?" Teriaknya dari seberang jalan sambil tertawa.
Aku hanya tertawa, menunjuk-nunjuk dirinya karena aku yakin ini sesuatu yang ia atur sebelumnya, "e bella, Signor. Bellissima!" Sambil masih tertawa, aku berbalik badan dan berjalan pulang.
oOoOo
"Buon giorno, Signor Franco. Hari ini ada kiriman ke mana?"
"Buon giorno, James. To the Albarada Hotel, pronto."
"Lagi?"
"Si. Dia datang kemarin ke sini, menanyakanmu."
"Jangan bercanda, Signor. Anda pasti berbohong."
"James, my dear boy. Why would I? Sudah, tolong cepat kau antar barangnya."
"Ada lagi selain itu?"
"Tidak. Akan kusuruh Ferro untuk mengurusnya."
Signor Franco dan permainan mak comblangnya. Aku sudah sering mengalaminya, tapi belum pernah sampai seperti ini. Maksudku, dari semua gadis yang dikenalkannya padaku, belum pernah ada yang meninggalkan bekas hingga membuatku tersenyum-senyum sendirian.
Tia, namanya. Aku suka nama itu. Ah, kuharap apa yang dikatakan Signor Franco tadi benar. Bahwa Tia datang ke deli dan menanyakan tentang diriku. Kuharap juga bahwa ia sengaja meminta barang-barangnya diantar lagi untuk dapat bertemu denganku.
"Non momento," kata suara dari dalam. Suara Tia. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum ia membuka pintu kamar ini. "Ciao, Giacomo! Come in. Thank you for bringing my groceries. They must be heavy."
"It's no problem. It's not as heavy as that one yesterday," kutunjuk kardus yang masih terpampang di meja.
Tia menawarkanku minum, dan tak kusia-siakan tawarannya. Aku sudah mendapat lampu hijau dari Signor Franco untuk berlama-lama di sini. Dari ceritanya, aku mengetahui bahwa Tia datang ke sini untuk kuliah. Dan selama belum mendapat apartemen, dia akan tinggal di hotel ini. Aku tak begitu mendengarkan apa yang ia ceritakan setelah cerita barusan. Susah untuk mendengarkan omongannya. Aku tak begitu pandai berbicara bahasa Inggris.
"What's wrong?"
"Nothing. I'm sorry. I'm not so good in English."
"No, no. I'm sorry. Was I too fast?"
"It's alright. If i ask you questions, do you mind? That way I can understand you better."
"No, not at all. Go ahead."
"Di dov'e lei, Tia? Where are you from?"
"Where I come from? Indonesia."
Indonesia?!
"Yaaaaahh. Aku juga!" aku menimpalinya dengan bahasa Indonesia.
"Kamu juga!? Bohong! Nama kamu...?"
"Yah, bukan DARI Indonesia sih. Ayahku Indonesia. Ibu dari sini. Keluarga ibuku lebih mendominasi kehidupan kami, makanya namaku nama Itali.”
“Giacomo.”
“Betul. Versi Inggrisnya ‘James’ kalau kamu mau lebih gampang.”
“James. Boleh?”
“Boleh. Signor Franco juga suka memanggilku dengan nama itu.”
“Oke… James,” dia tersenyum lagi.
~ tu bi kontinyud.
PS. ini masih to be continued tapi kok udah panjang ya prasaan *hahaha, bilang aja males nerusin*
No comments:
Post a Comment