Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

19 November, 2007

Menggapai Langit

"Just be careful, okay..." ujar Rama sambil menepuk pelan kepalaku. "I know, you have a soft spot for bad boys, but i think, this one is beyond it," dia melanjutkan lagi. Matanya tampak khawatir. Ah, Rama...Rama, betapa gue sayang sama lo.

"Geez, just relax... Gue bisa jaga diri kaleee...lagian kenapa mesti se-khawatir itu sih, Ram? Toh, you'll always be there to catch me when i fall, kan?" aku berusaha mencairkan ketegangan yang sepertinya dari tadi meliputi mimik wajah kakakku satu ini. Lagipula, itu memang betul kok. Saat senang dan susah Rama selalu ada disana, aku selalu tau bahwa aku bisa selalu menghambur ke pelukannya setiap kali ada sesuatu yang berjalan salah.

"Iya, tapi kalau bisa nggak jatuh, bakal lebih baik, kan?" Yeah yeah...Rama the Philosopher. Tapi saat ini, aku sedang jatuh cinta setengah mati, bahkan kakakku yang kucintai sepenuh hati ini pun tak akan bisa merubahnya.

Sumber pembicaraan kami kali ini adalah seorang lelaki, bernama Langit. Hmm, even his name sounds so sexy, according to me, yaaa. Seperti namanya yang ada jauh tinggi, di atas sana, begitu pula posisinya dalam strata sosial hidupku. Bertahun-tahun aku hanya mampu memandangnya dari jauh, berharap bisa menjadi salah satu bintang yang bisa menempel padanya setiap malam. Tapi entahlah...sebelumnya keberadaan ku tak lebih bagai air yang tenang, yang akan selalu dengan setia memantulkan keindahannya, tanpa pernah mempunyai kesempatan untuk menyentuh. Namun sekarang, mungkin aku sudah berubah menjadi setitik bintang di langit malam.

"Hey! Jangan ngelamun kali. Dengerin donk, kalau orangtua lagi ngomong!" Wooo, blagu banget si Rama. Jelas-jelas aku sama dia cuma beda 1 tahun 5 bulan.

"Yeah, yeah...siapa yang bengong sih, kaak... Iya iya, gue pasti jaga diri kok. Emang lo pikir gue bego apa?!"

"Lo tu emang nggak bego, tapi walau gimanapun asiknya lo, lo tu tetep cewek!" Eits, mulai sexist nih si Rama.

"Trus kenapa kalau gue cewek?? Kalau gue cowok gue nggak bakal naksir Langit, kaleee... Doh!" aku berseru sengit. Emang paling sensi kalau obrolan sudah mulai bawa-bawa jenis kelamin.

"Bukan gitu,non, tapi kaum lo itu terkenal karena tindakan-tindakan bodoh mereka kalau lagi jatuh cinta! Apalagi, cowok macam si Langit itu, tipe yang bakal diperingatin sama semua orang tua ke anak-anak gadis mereka. Yang pada akhirnya justru malah bikin anak-anaknya makin tertarik. Kayak lo gini, nih, sekarang"

"Then, why don't you just stop warning me? Dengan begitu, siapa tau aja gue jadi nggak begitu tertarik lagi sama dia..." balasku sambil menggoyang-goyangkan alis. Ini adalah gerakan yang sangat dibenci Rama. Kenapa? Karena tentu saja dia tidak bisa melakukannya, hahahaha.

"Ya, sesukamulah, lil' sist... Just don't come running to me when he break yourheart." AKu cuma mangut-mangut, karena tau kalau hal itu benar-benar terjadi, Rama lah orang pertama yang akan berlari dan menyediakan bahunya untukku. The only person that I can always take for granted.


***


Hujan. AKu suka hujan, hujan menutupi hal-hal buruk. Itu menurutku.

Aku sedang menunggu Langit, dia berjanji akan menemuiku di tempat ini. Sudah hampir satu jam aku duduk di sini. Disebuah kafe kecil yang juga menyewakan buku. Ide yang cerdas, mengingat tempat-tempat seperti ini biasanya dijadikan tempat pertemuan, dan akan diisi oleh orang-orang yang menunggu dengan bosan. Buku akan menjadi hiburan yang menyenangkan.

Rinai hujan membasahi dinding kaca kafe itu. Cuaca yang mendung, belum lagi waktu yang sudah hampir malam membuatku agak sulit melihat pemandangan di luar. Aku memainkan kotak bekal di hadapanku. Sekotak lasagna khusus untuk Langit. Aku ingat suatu waktu dulu, dia pernah melahap habis bekalku dalam sekejap mata. Sekotak lasagna buatan Mama waktu itu. Hhh, aku merindukannya.

Dua jam sudah berlalu, kafe semakin penuh. Setiap sudutnya diisi oleh orang-orang yang baru menyudahi kegiatan mereka hari itu. Mulai dari para pegawai kantoran, mahasiswa, pelajar sekolah, dan sekelompok orang, dilihat dari pakaian mereka yang eksentrik, adalah segerombolan seniman. Langit masih belum datang.

Entah kenapa, aku tidak keberatan berada disini, sendiri. Menanti datangnya seseorang, yang kehadirannya selalu meninggalkan bias sinar untukku bertahan. Sekarang, setelah akhirnya aku berhasil menggapainya, semua hal tak ada yang terlalu berat. Aku bisa dengan sukarela menghabiskan malamku hanya duduk diam disini, membaca buku-buku yang tak kumengerti, meminum bercangkir-cangkir kopi, hanya untuk mendapatkan sekelebat bayangannya. Dan aku rela melakukannya berulang-ulang kali. Obsesi.

Bunyi kecipak air dari luar membuyarkan lamunanku. Di balik kaca, kulihat Langit sedang berlari berpayungkan gulungan koran. Terlalu tak peduli untuk melindungi diri. Dengan setengah terengah dan sedikit basah, dia menghampiriku.

"You are still here..."

"Of course, where else did you think I'm gonna be?"

"Let say... Anywhere but here?" ujarnya sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah. Tersenyum tipis. "Aku seneng kamu masih disini," Langit menggapai tanganku, menggenggamnya.

"Aku juga," jawabku, tersenyum lega. Then he kissed my hand.


***

AKu membuka pintu. Dihadapanku berdiri Langit, tinggi menjulang, bercucuran darah. Bukan hal baru. AKu menariknya masuk. Mendudukkannya di sofa, dan berjalan ke dapur mencari es batu, dan lap piring yang bersih. Aku sudah kehabisan handuk tanpa bekas noda darah. Lalu kembali ke ruang duduk.

Langit duduk diam disofa, kedua tangannya menyangga kepala. Dia mendongak ketika mendengar langkahku.

"I'm sorry..."

"That's okay. Hold this," kataku sambil menyodorkan plastik berisi es batu. Aku mulai membersihkan wajahnya. Siapa yang menyangka kalau ternyata darah itu bukan darahnya. Muka Langit hanya dipenuhi memar dan lebam, tanpa luka. Dengan hati-hati aku membuka kemejanya yang sudah robek dibeberapa bagian. Perut dan dadanya lagi-lagi dipenuhi memar, baru dan lama. Tiba-tiba dia menahan tanganku yang sedang membersihkan wajahnya, dan mengecupnya lembut.

"What would I do without you?" dia bertanya sambil terpaku menatapku.

"You'll be some unknown dead body on the street?" jawabku sambil membebaskan tangan dan kembali membersihkan darah kering yang menempel di kulitnya.

"Hahaha, ya, mungkin kamu benar," dia menyandarkan badannya ke punggung sofa, dan meluruskan kaki.

"Tentu aja aku benar, mana mungkin bisa salah. You are lucky you are still alive this time," lanjutku.

"Apa kamu nggak mau tau? Apa yang terjadi, siapa yang salah, gimana awalnya, gimana akhirnya... anything, everything?"

"No, I don't. Apapun yang terjadi, nggak bakal ada bedanya buatku." jawabku. "You are still my hero," aku mengedipkan mata untuk mengecilkan makna ucapanku barusan.

Dia mengambil lap piring yang sekarang berwarna coklat itu, meletakkannya di meja, dan menarik tubuhku. My head on his shoulder, the greatest place in the world, in my world. "Don't go anywhere," bisiknya di telingaku.

"Never"


***

"Lagi ngapain lo?" Rama menjulurkan lehernya di pintu kamarku.

"Trying to sleep, sebelum lo tau-tau datang, dan mengganggu," jawabku gusar. Langit baru pulang tadi pagi. Bergegas kembali ke dunianya.

"Jam segini?? Come on, sist! Get your lazy ass up, and go play outside!" ujarnya sambil melemparkan badan ke atas kasurku.

"What are you? five??" aku menarik selimut menutupi muka. Tidak mengacuhkan Rama yang mulai menggoyang-goyangkan tubuhku. "Stop it!! Some people do need to sleep, you know!" Aku mendorong tubuhnya dari kasur. Eegh, dia sangat berat.

"Tumpukan apa tuh, yang ada di kamar mandi lo?" Rama bertanya tiba-tiba.

"Ngh??" tak begitu sadar aku menanggapi ucapannya."Tumpukan apa?"

"Itu, yang ada di kamar mandi lo, warnanya coklat." Shit! Aku lupa langsung membuangnya ke tempat sampah, tapi aku memang tidak tau Rama akan datang hari ini.

"Oh, itu. Tau gue lupa, abis dipake buat ngelap lantai kayaknya," jawabku tak acuh, tapi sudah sepenuhnya sadar sekarang. Rama sukses mengusir kantukku.

"Do you think I'm stupid??"

"Well, yeaah, sometimes..."

"Stop it, sist! It's him, rite? Dateng berlumuran darah, setelah bikin ulah entah dimana, mengharapkan lo untuk mengurusnya, atau sekalian menghangatkan malamny...

"Enough! That's rude!! GUe sama sekali nggak bisa mentolerir omongan lo!!!" aku duduk, merasa over expose dalam keadaan berbaring. "Apapun yang gue lakuin sama dia, it's none of your business!! Apapun yang ingin gue perbuat untuk dia, sama sekali bukan hak lo untuk nyampurin hal itu!!!" Rama terkejut, dan dia pun terdiam. Hanya menatapku dengan pandangan bingung, aku bukan orang yang sering menunjukkan kemarahanku, bahkan pada kakak kandungku sendiri.

"Look what he turns you into... Are you really happy? Does he make you happy? Seperti yang lo lakuin untuk dia, kayak semua hal yang lo perbuat untuk dia?" Rama bertanya pelan, ekspresi terguncang masih tampak diwajahnya. Rama, what should I do to make you understand...?

"What do you think?? Of course not! Setiap malam, gue berdoa semoga dia datang dalam keadaan masih hidup. Setiap dia pulang, gue berharap itu bukan untuk yang terakhir kalinya dia datang. Setiap detik dalam hari gue, selalu gue pakai untuk berdoa semoga semua ini bisa berlangsung lama. Semoga dia bukan sesuatu yang cuma gue pinjem, bukan sesuatu yang bisa hilang... Bahwa entah bagaimana, suatu hari nanti dia akan bisa gue gapai, dan dia akan tersadar, dan tau, waktu untuk berhenti akhirnya datang. Lalu dia pulang, pulang, ke gue!! Apa lo ngerti semua itu, Ram!!! Apa lo tau, jadi apa gue sekarang dibuat sama dia??!!!" aku bisa merasakan air mata membasahi mukaku, semua sedu sedan, isak tangis, sekarang terasa bagai bendungan yang bobol.

Rama langsung menarikku, mendekap tubuhku erat, dan menggerakkan badannya, seakan ingin menghanyutkanku dalam ayunannya. AKu masih terus terisak, dan tak tau bagaimana caranya untuk berhenti.

"I'm sorry sist, I'm so sorry..." dia mengatakannya berulang-ulang, bagaikan sebuah dzikir panjang tanpa makna.

"I love him, Ram, I really really love him...what is so wrong with that?" ujarku, di sela-sela isakan yang tak mau berhenti.

"Nothing, there's nothing wrong..." Rama tetap mengayun badanku pelan. "Let just hope, nobody would see it as a mistake either..."


***

"Apa kamu tau kamu seperti apa?" Tanya Langit siang itu. Kami sedang berbaring di atas tikar piknik ditaman kota. Di sekeliling kami banyak anak kecil berlarian, bunyi air mancur bergemiricik pelan, dan burung-burung kecil berlarian disekitar remah-remah roti yang dilemparkan. Kepalaku berbantalkan lengan.

AKu meletakkan buku yang tengah kubaca dan menghadapnya, "No, I don't. Seperti apa menurut kamu?" Menikmati pemandangan mengamati wajahnya dari sisi ini.

"Apa kamu tau apa arti nama kamu? Iris?"

"Yaa, some goddess of rainbow, or something like that. Kenapa?"

"Buat aku kamu memang seperti itu. Seperti dewi pelangi yang terbang hilir mudik, meninggalkan jejak cahaya. Jejak kamu akan membawa kebahagiaan bagi siapapun yang cukup beruntung melihatnya," Langit kini menatapku.

"Berarti seharusnya kamu bersukur, karena dewi ini, mau meninggalkan jejaknya untuk selalu kamu lihat," kelakarku sambil menyingkirkan rambut yang jatuh menutupi matanya.

"I am...I think I never thank God enough for it. Kamu tau Iris, aku rasa, aku akan berhenti..." AKhirnya...saat yang kukira tak akan pernah datang. Aku hanya tersenyum menatapnya. "AKu akan berhenti Iris, aku akan berhenti membiarkan orang-orang itu membayarku mengerjakan pekerjaan kotor mereka. Kita akan pergi, ketempat yang tak bisa ditemukan mereka, kita akan pergi, dan tak pernah kembali. Kamu mau pergi, Iris?"

Aku bangkit, dan duduk. Menatapnya, mencoba mencari kesungguhan di matanya. Dan semua yang kucari, memang ada disana. "Anywhere. I'll go anywhere with you," jawabku. Dia pun bangkit, setelah memelukku erat, dia membantuku berdiri.

"Let's go... Let find some place to..." apapun yang ingin dikatakannya terhenti. Dalam adegan lambat aku melihat sesuatu yang berkilauan menghujam dadanya. Suara desingan peluru terasa memekakkan telinga. Teriakan, jeritan, makian bergabung menjadi suatu satuan yang tak bermakna, memenuhi udara dengan kepanikan. Burung-burung langsung mengepakkan sayap mereka, terbang, dan menghilang.

AKu berdiri nanar menatap Langit, menyaksikannya roboh, bagai pohon tumbang. Tangannya terjulur mencoba menggapaiku. Aku hanya diam, membeku. Suara teriakan yang tak bisa kukeluarkan terasa bertalu-talu, menghantam seluruh panca inderaku. Air mata terasa menumpuk di kelopak mataku, memaksanya menutup, tapi bahkan sekedar berkedip pun aku tak bisa. Udara terasa membuncah, meledak ingin keluar dari dadaku, semua badanku, setiap sel darahku, terasa sakit, dan seolah-olah berhenti berfungsi.

AKu menatap Langit. Di tanah berkubang darah, yang kutahu pasti itu darahnya, hanya darahnya. Matanya terbuka menatapku, dan darah terus mengalir. Kelamaan membentuk lingkaran di sekeliling tubuhnya, membasahi bajunya, menggenangi rumput. Aku menatap cairan merah yang lama kelamaan, kutau membawa kehidupan Langit meninggalkanku, tapi aku hanya tetap diam terpaku.

"Iris..." bisiknya. Menyadarkanku.

Aku segera berlutut disampingnya. Mengangkat kepalanya ke atas pangkuanku. AKu bisa mendengar mulutku membisikkan namanya berulang-ulang kali. AKu mencoba menutup lubang yang mengucurkan darah didadanya, tapi sepertinya itu sia-sia. Darahnya terus mengalir, dan mengalir, dan mengalir...

"Iris..." bisiknya lagi. Dia mengumpulkan sisa tenaganya dan menyentuh pipiku. AKu bisa merasakan badanku bergoyang-goyang, seperti yang dilakukan Rama waktu itu, membuat ayunan untuk mengusir kenyataan. Mulutku terus membisikkan namanya berkali-kali, dan lagi, dan lagi, dan lagi... "Iris, kamu tau kamu seperti apa?" bisiknya, lemah dan parau. AKu menggeleng kalut, tak mampu membentuk kata lain dengan mulutku selain namanya.

"Iris, kamu seperti pelangi...terlalu indah untuk kumiliki..."

Dan dia pun pergi, hilang, membumbung, tinggi.


Dan Langit, selamanya kamu tak akan pernah tergapai.

No comments:

Post a Comment