Kira-kira lima tetes hujan mulai bersarang di kepalaku. Mana sih si Arki? Alamat pusing kena gerimis deh nih. As if aku belum cukup nyut-nyutan.
Still, I couldn't help but replaying the scene over and over. Riko dan temperamennya yang tiba-tiba meledak. Meneriakiku di tengah-tengah keramaian. "Bercanda ya kamu?!" teriaknya. "Kamu mau putus? Nggak bisa! Karena I'm breaking up with you!" bisiknya dingin setelah sadar semua mata sudah memandangi kami. I couldn't argue with that, jadi aku pergi. Meninggalkannya di coffee shop kecil itu.
Ck. Dikiranya penting, siapa yang minta putus duluan? Kekanak-kanakan. Untung aku sudah putus dengannya.
Mungkin lebih baik aku saja yang menunggu di coffee shop, bukannya jalan kaki tiga blok. Taksi tak ada yang lewat, tetesan hujan pun mulai datang berombongan. Seharusnya sahabatku, Arki--in case that wasn't obvious, sudah datang. Aku selalu meneleponnya untuk keadaan yang inconvenient seperti sekarang.
Aku menaikkan hoodie jaket ke kepalaku, ketika tiba-tiba ada suara klakson dari belakang. Aku menengok dan mobil VW kodok merah Arki yang butut sudah memandangku.
"Hellooo," kataku riang sambil masuk ke kursi penumpang. Seperti biasa cuma disambut senyum miringnya. "Makasih ya udah mau jemput. Soalnya tadi tau-tau Riko harus pergi."
"Right," katanya, sarkastis. Tipikal Arki.
"What?"
"Riko harus pergi?" tanya sahabatku itu sambil mencibir. "Riko pasti harus pergi karena ceweknya yang bernama Lyla mutusin dia tanpa alesan."
"Nuh-uh! Gue ngasih alesan kok!"
"Sorry, maksud gue, tanpa alesan yang jelas."
"Nyeh--" kataku, kehabisan argumen.
Arki kembali memajang senyum miringnya. Kali ini, lebih mengganggu daripada biasanya. Aku pun kembali berargumen.
"Tapi, Ki, untung gue putus. Dia menggila banget tadi. Kasar, teriak-teriak, violent deh. Nggak secara fisik sih--"
"Not the point, La."
"And since when do we have to have a point?" jawabku cengengesan.
Arki tersenyum lebih lebar sekarang, ditambah gelengan kepalanya, dan akhirnya mengangguk kecil--seakan setuju denganku. Gesture andalannya setiap kali dia mau berperan sebagai the bigger, wiser person. Ciri tipikal lain dari Arki: sok. Cih.
*****
"Sooooo, whadayya think?" tanyaku, setengah berlari setengah melompat ke Arki. Aku baru saja mengenalkannya ke Regi, pacar baruku.
"Fine..." kata Arki sambil mengintip halaman rumahku dari jendela.
"Elaborate, please," pintaku sambil ikut mengintip di jendela yang sama. Mobil Regi baru saja meninggalkan pekarangan rumahku.
"Siapa namanya... Regi? Kayaknya oke. Dia main gitar, main bola, suka anjing... Akhirnya dapet juga lo yang kayak gitu. Ya, walaupun nggak ngaruh juga sih."
"Kiiii..." aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Come on, La. Kapan tanggal kadaluarsa buat Regi?"
Aku dan Arki sudah berulang-ulang melewati perbincangan yang sama. Tapi saat ini, I'm not in the mood for another silly argument. Arki melanjutkan hujatannya sebelum aku sempat menjawab.
"Mungkin pas dia mau ngenalin lo ke orangtuanya? Atau pas dia mulai pengen kenal lo lebih dalem? Atau--"
"Ki!" kataku, setengah teriak. "Udah ah."
*****
Untuk kesekian kalinya, aku duduk di kursi penumpang VW kodok merah ini. Untuk kesekian kalinya, aku minta Arki menjemput, setelah aku memutuskan pacarku. Tapi kali ini ada yang berbeda. Arki lebih diam. Sejak perdebatan kami waktu itu, dia memang lebih hati-hati memilih lelucon.
Seperti biasa, scene putus berulang-ulang dengan sendirinya di otakku.
"Putus?" tanya Regi. Mukanya ramah seperti biasa, bedanya mungkin pada matanya yang sedikit memelas dan penuh tanda tanya. "Kenapa?"
"Karena--"
"Eh, nggak usah dijawab deh."
Diam.
"Aku kira, everything's going great, La."
"It is."
"Terus?" tanyanya. "Wait. Never mind. It's okay. Aku harus ngehormatin keinginan kamu kan... Apapun alesannya."
Regi tersenyum ramah, dengan mata sedih yang berusaha disembunyikannya.
Biasanya di situlah akhir cerita. Tak ada penyesalan dan pertanyaan. Kali ini pun tak ada penyesalan. Toh sudah lewat. Tapi pertanyaan? Suara di dalam kepalaku bertanya berulang-ulang, what are you doing. What are you doing? What are you doing? What are you doing?
Tiba-tiba suara dehem Arki membuyarkan siaran ulang Sore Bersama Regi di kepalaku.
"Kalo mau ngomong sesuatu, ngomong aja," kataku agak ketus.
"Nggak."
"Right. Udah deh. Get it out of your system."
"Oke. Gue cuma pengen tau, alesan apa lagi yang lo kasih sekarang?"
"Dia nggak minta alesan."
"Kalo dia minta?"
"Nggak tau. You're too good for me? Atau apalah. Apa urusan lo juga sih, Ki?" tanyaku ketus. Aku mulai kesal dengan Arki yang sepertinya sedang membelekku dengan pisau bedah, layaknya kodok di kelas biologi. Berusaha belajar cara kerja organ-organ di dalamnya. Ck. Aku bukan kodok!
Arki tidak menjawabku. Dia malah kembali membombardirku dengan pertanyaan.
"Dan alesan lo sesungguhnya?"
Aku terdiam. Apakah aku benar-benar harus menjawab pertanyaan itu?
"La, ayolah. You're too good for me? Nobody's too good for you. Gue tau, menurut lo, you're too good for everybody."
"Ki, serius ya. Mulut lo belakangan ini mesti dibekep sambel deh."
"Sorry."
Kami terdiam sesaat sebelum Arki mulai bicara lagi.
"Kenapa sih? Gue tau lo gerah sama yang namanya komitmen. Tapi lama-lama kayaknya udah bukan masalah itu lagi."
"Maksud lo?"
"Ya, lihat Regi. Gue kira, dia udah sesuai banget sama yang lo cari-cari. Memenuhi syarat-syarat lo yang ribet. Dia juga nggak clingy. Kenapa coba lo putusin? Alesan masuk akal apa yang bisa lo kasih?"
Aku tak bisa menjawab.
"Tuh kan? Lo cuma main-main ya, La? Ya, itu hak lo, dan gue tau gue sebagai sahabat lo harusnya mendukung aja, dan segala macem--"
"Karena gue takut ditinggal!" teriakku, keceplosan. Tanpa sadar air mata mulai menggenangi pandanganku. Arki menengok ke arahku dan kembali melihat ke arah jalanan. Dia mengarahkan mobil ke kiri jalan, dan menghentikannya di toko tanaman yang sudah tutup.
"La..." rasa bersalah terlihat begitu kental di muka Arki.
"Karena emang gitulah adanya, Ki. People leave. They always do. Siapapun itu. Akan lebih baik kalo gue yang mulai duluan. Gue nggak usah repot-repot nunggu kapan mereka bakal pergi. No waiting, no dreading..."
"La..." katanya lagi, tapi sambil tertawa kecil. Gila ini orang. Setelah memancing kekesalan, lalu dia ketawa? Apa dia mau berlagak jadi Arki, Mr. I'm-so-wise-and-cool-I-don't-do-drama?
"Apa? Gue tau lo selalu mau ngebuktiin kalo omongan gue salah. Tapi untuk yang satu ini gue tau gue bener. People always leave, Ki. Kalo nggak seminggu lagi, sebulan lagi, atau sedekade lagi. Tapi itu pasti. Muluk-muluk kalo lo mikir sebaliknya."
"La, maaf ya."
Aku cuma menghela nafas.
"La, maaf. Mungkin tadi gue agak kelewatan. Tapi nggak semua orang pergi, La. Nggak semua orang kayak nyokap lo, kayak strangers yang dulu pernah lo sebut sebagai temen-temen lo," katanya sambil mengabsen pendatang yang pernah ada di hidupku. "Gue tau semua orang keliatannya dateng dan pergi gitu aja. Tapi nggak semua kayak gitu kan?"
"Menurut lo kan? Menurut gue, pikiran kayak gitu muluk-muluk. Lagian nggak semua orang pergi, karena gue udah pergi duluan."
"Not the point, and you know it."
Aku terdiam. Berharap bisa menekan tombol fast-forward dan menyudahi pembicaraan ini.
"Nih deh. Satu contoh, gue nggak bakal pergi."
"Yaa. Siapa yang tau kan sepuluh tahun lagi..."
"Kayaknya nggak ada yang bisa menggoyahkan pikiran lo ya."
Aku cuma mengangkat alis.
"Gini deh, gimana kalo kita taruhan?"
"Taruhan apa?"
"Tiap hari, untuk keduaribuseratustujuhpuluhdua kalinya, gue bakal ngebuktiin kalo lo salah."
"Gimana?" tanyaku. Masih cemberut dan merasa sangat bodoh karena sudah menangis--hal yang sudah lama asing bagiku.
"Ya gue bakal ngebuktiin kalo anggepan lo yang 'people always leave' itu nggak bener. Gue bakal nongol terus di hidup lo... dan nggak bakal pergi."
"Nggak usah janji-janji."
"Siapa yang bilang janji, he?" cibirnya sambil mengusap mukaku, kebiasaannya setiap kali meremehkanku. "Lo juga boleh buktiin kalo gue yang salah. Kalo orang pasti pergi."
"Nyeh..."
"Lo pasti tau kan, susah ngebuktiin kalo gue salah."
"Sotoy," jawabku, basi.
"Pokoknya, kalo gue yang bener. Kalo gue bisa ngebuktiin gue nggak bakal pergi dari hidup lo, bayarannya..."
Aku menatapnya, menunggu kelicikan sahabatku yang satu ini.
"Bayarannya..." lanjut Arki. "Bayarannya lo harus tetep nongol di hidup gue juga. Nggak ada kabur-kaburan kayak yang lo lakukan ke Regi, and practically everyone you know."
Arki mengangkat alisnya, menunggu jawabanku. Aku deg-degan. Tapi aku tidak takut, tidak gerah, tidak canggung.
"You got yourself a deal," jawabku akhirnya sambil menyodorkan tanganku untuk disalami. Arki tidak menyalaminya, tapi menggenggamnya, tersenyum.
Aku tidak keberatan salah kali ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment