Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

29 November, 2007

Balada Sepatu Merah, Part I

Sial, hujan. Gue memandang nggak berdaya ke arah sepatu suede gue, belum seminggu umur sepatu cantik ini, masa iya harus gue korbanin. Gue menengok ke kanan dan ke kiri, sesaat gue ngerasa kayak ayam yang mau nyebrang jalan. Cih, nggak ada siapa-siapa pula lagi.

Gue mulai menimbang-nimbang. Kalau gue nekat lari menembus hujan, either gue bakal keseleo karena hak sepatu cantik gue ini 10 cm, atau gue akan merusak sepatu yang menguras setengah gaji gue bulan lalu. The other option adalah menunggu hujan reda, but then i'll be late, dan menerima amukan dari 3 perempuan ganas yang akan dengan senang hati mencabik-cabik tubuh gue sampai ke sudut terdalam hati gue yang lembut, mengingat gue juga datang terlambat saat pertemuan terakhir bersama para wanita amazon itu. Hhhh, gimana, ya?

Ah! Gue tahu, gue akan menenteng sepatu merah gue, dan walking barefoot ke mobil. Mengingat hujan juga cuma tinggal gerimis, jadi gue nggak akan basah-basah amat. Besides, gue cukup pintar pagi ini karena nggak lupa menyambar trench coat Diane Von Furstenberg hadiah dari Tante Lelly yang senada sama sepatu merah gue. So. i'll be save and dry.

Hup, hup, 1,2,3. Damn, it's cold. Hup, hup, 4, 5, 6.

"If you would, i'd be happy to take your car, here"

Heh? Hmm, sebuah suara yang cukup empuk, apalagi saat dingin-dingin begini. Gue sempat berhenti, tapi terus gue sadar itu perbuatan bodoh, karena berdiri dibawah hujan, itu sama sekali nggak romantis. Sambil ngeliat sipemilik suara empuk tadi gue kembali berlari ke lobby kantor yang udah sepi. Well well well, he looks as delicious as his voice. Kenapa gue nggak pernah ngeliat dia sebelumnya, ya?

"Well, and why should i trust a complete stranger like you driving my car?"

Dia hanya mengangkat bahu, acuh.

"Apa saya terlihat seperti pencuri mobil?"

"How do i know, never met one before"

Dia tersenyum. Whoah, that lips! Kenapa tiba-tiba bibir gue jadi terasa kering, ya? Mungkin gue membutuhkan 'sesuatu' to keep them moist. Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya. And, what i suppose to do with that?

"Damian"

Oh, handshake. Of course! What was i thinking.


"Carla"

"So, kamu parkir dimana?"

"Huh?"

"Kamu parkir dimana? Biar saya ambil mobil kamu?"

"Hah?"

"We aren't stranger anymore, so i can drive your car now, rite?"

"Well..."

"Come on, just hand me the key. We don't want to scratch those beautiful legs, do we?"

What? Beautiful legs? Hehehe, tau aja. Bukannya apa-apa. Gue tergila-gila sama sling back shoes, so i always pay more attention to my ankles. Gue mulai ragu, apa gue kasih aja kali, ya, kuncinya ke orang ini. Lagian tampangnya emang nggak kayak maling, sih. But hey, who knows?

" Here, kamu bisa simpan dompet dan ID saya."

Gue memandang dompet kulit dengan label Tod's itu. Hmm, boleh juga seleranya. Hujan juga masih belum reda, apalagi masih becek. Apalah daya, gue hanya seorang wanita.

"Nih, saya parkir di dekat ATM, VW Golf, warna merah" menyerah.

"My Little Red Lady" dan sambil menunduk dia pun berlari menembus hujan.


***


Haah?? Pesta Kebun?? Kenapa nggak ada yang bilang sama gue??
Gue berdiri pasrah sambil memandang sepatu merah gue lagi. Padahal hari ini gue udah ngerasa kece banget, pakai floral cocktail dress Nina Ricci yang senada sama sepatu gue. Tapi kenapa ternyata pesta ini malah pesta kebuun???? I can not wear these shoes here.

What do i do, what do i do...?

Gue lalu melihat ada sebuah gazebo putih, tanah disekelilingnya ditutupi konblok yang membentuk jalan setapak ke tengah-tengah taman tempat orang-orang berkumpul. Gazebo itu cantik sekali, ada mawar-mawar liar yang melingkari pilar-pilarnya. Hmm, i wonder, is it real? Untuk bisa mencapai gazebo itu gue memang masih harus menjejakkan sepatu cantik gue ke tanah berumput yang sepertinya masih basah ini, tapi mungkin kalau gue berjalan pelan-pelan sepatu gue masih bisa selamat.

" Trying to save your shoes again, Red Lady?"

Hey, I know that voice. Yup, si I-Know-Im-Gorgeous-So-What Damian sedang berdiri memandang gue dengan mimik muka geli. Di tangannya sudah bertengger gelas cocktail berisi cairan berwarna merah tua. Isnt it too early to drink bloody mary at this hour?

"Saya akan dengan senang hati menggendong tuan putri ke gazebo itu."

Hahaha, hati gue juga akan senang, but it's not gonna be that easy, my dear.

"Not in this life. Lagian saya nggak mau kamu sampai repot-repot meletakkan gelas kamu."

"From what i can see, saya nggak membutuhkan seluruh tangan saya untuk mengangkat kamu," ujar si raksasa sambil mengangkat alis.

"Thanks, but no thanks." Sial.

Gue pun mulai bersiap-siap menginjakkan sepatu gue ke tanah basah itu. 'Tuan Louboutin, tolong maafkan saya. Saya berjanji tak akan mengulanginya lagi.' doa saya dalam hati.

Langkah pertama.

Eww, gue bisa merasakan gimana hak runcing sepatu gue menghujam ke tanah. Mulai ada noda coklat di sol merah cantiknya. Hiks...
Oh, mungkin kalau gue berjalan jinjit hak sepatu gue nggak akan masuk ketanah, dan solnya juga nggak akan sekotor itu.

Dan gue pun mulai berjingkat-jingkat.

Hup, hup. Yak, sejauh ini usaha gue berjalan cukup lancar. Tapi kenapa kok kayaknya gazebo itu nggak keliatan makin dekat, ya? Dan ternyata berjalan jinjit dengan sepatu setinggi ini sangat tidak nyaman, belum lagi susah banget menjaga keseimbangan badan. Gue terus berjalan sambil mendekap tote bag gue erat-erat. Pengennya sih merentangkan tangan kayak mau terbang gitu, tapi takut terlalu mencolok, dan menarik perhatian, hhh...

Oow, ow...aww. Yah jatoh deh, jatoh deh...Gue mulai bisa merasakan badan gue oleng. Karena udah nggak bisa menjaga keseimbangan, gue hanya menunggu dengan pasrah sampai badan gue membentur tanah basah.

"I got you..!"

Tiba-tiba badan gue sudah berada dalam dekapan sang pangeran tampan. Gue pasti udah mati dan masuk surga. Well, jadi jangan salahin gue kalau gue sempat membeku untuk beberapa detik, apa menit, ya? He smells really nice...Dan badannya itu, lhoo...apa ya, kata yang tepat...kokoh?

" See, i told you. Akan lebih baik kalau tadi saya langsung gendong kamu."

" Saya bisa jalan sendiri kok." keras kepala.

" Ya, saya yakin kamu bisa."

Tiba-tiba seluruh badan gue terangkat dari tanah.

"What do you think you are doing?? Turunin nggak!! Turunin saya!"

" Nope. And i'm thinking, rite now im carrying a very beautiful yet stubborn lady."

Okay, that would shut me up for a while. Lagian nggak seburuk itu juga ternyata, digendong oleh seorang laki-laki tampan melintasi taman.

"Here we go..." katanya sambil menurunkan saya di lantai gazebo. Hmm, siapa sangka kalau jarak gazebonya sedekat ini.

"Gee, thanks..." walau lega karena sepatu gue berhasil diselamatkan, gue tetep aja nggak mau memberi makhluk sok kuat ini kepuasan.

"Anytime milady... Lagian saya yakin, Louboutin tidak menciptakan sepatu itu untuk kamu pakai di tanah seperti ini."

"Are you gay, or something?"

"What?!"

"Hanya cowok-cowok gay yang bisa mengenali merek sepatu tertentu."

"Hahahaha, apa kamu pikir seorang laki-laki gay akan bersusah payah menggendong kamu seperti tadi?"

"Well, gay are women bestfriend, lagian saya nggak tau kalau ternyata kamu kepayahan."

"I would like to kiss that wicked mouth"

"..." damn!

Si Mr.I-know-Im-gorgeous-so-what itu sekarang hanya menatap dalam-dalam mata gue sambil tersenyum geli. Dia pun lalu meminum isi gelasnya. Wait! Gimana caranya dia masih megang gelas itu sehabis menggendong gue??

"Kenapa? Kan saya udah bilang tadi, saya nggak membutuhkan seluruh tangan saya untuk menggendong kamu."

"Gi..gimana caranya?"

"It's not for you to know, my dear..." tersenyum lebar.

"Cih." cemberut.

"Hahaha, emang umur kamu berapa sih? Suddenly you look like 13 to me."

"It's none of yourbusiness!" gue bisa ngerasain panas menjalari pipi gue. Makhluk tampan sialan! "Bukannya masih terlalu pagi, ya, untuk minum sesuatu yang beralkohol?!" gue bertanya sengit.

Dia hanya menatap gue dalam, dengan senyum geli yang lagi-lagi tersungging di bibirnya. "Cobain, deh," Damian menyodorkan gelas itu ke gue. "Ayo cobain, saya nggak beracun, kok."katanya lagi ketika ngeliat gue yang ragu-ragu.

Setengah nggak yakin akhirnya gue ambil juga gelas itu, dan menyisip cairan di dalamnya. Manis, dan...well, agak-agak asam. Sirup beraroma mawar. Damn! Gue yakin muka gue pasti semerah kepiting rebus saat ini. Sial sial sial!! Kenapa dia nggak bilang langsung aja, sih?? Penting, ya, bikin gue malu dulu. "Sorry..." gue berkata pelan, sambil berusaha menyelamatkan harga diri yang tersisa.

"Hahaha, that's okay. It's a very beautiful view to see a lady blushing,"

"Gee, thanks..."

"Ada rencana weekend ini?" tanyanya tiba-tiba.

"It depends, why d'u ask?"

"Have dinner with me this saturday," Agak susah menjawab suatu pertanyaan kalau lo ditatap seserius itu. Tapi gue adalah seorang perempuan mandiri, tegar, beriman (hmm, kok jadi kayak slogan kota, ya?), dan nggak akan luluh begitu saja.

"I'll let you know..." gue menjawab sombong dan bersiap pergi. Damian menarik tangan gue dan menggenggamnya erat, "When?" tanyanya.

"After noon. On saturday," dan gue pun berlalu, dengan senyum kemenangan.***

No comments:

Post a Comment