Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

04 October, 2007

Sempurna

“Permisi,” aku merasakan bahuku ditepuk seseorang. Siapa?

“Ya?” ujarku sambil menengok dan sepersekian detik kemudian aku menyesal telah menengok.

“Dina? Gila! Tebakanku benar! Aku lihat kamu tadi masuk lobby… ”

Mantanku. Urgh. Kenapa dari sekian juta mall yang ada di Jakarta, orang ini bisa tiba-tiba muncul di mall yang sama denganku.

“Hai! Ya ampun, kita udah lama banget ya nggak ketemu,” terpaksa aku basa-basi.

“Iya. Aku kangen banget,” tiba-tiba dia memelukku – dan aku hanya bisa pasrah, bercampur kaget… dan sedikit perasaan rindu berdesir di hatiku.

“Tama, jangan main peluk-peluk dong. Kaget.”

“Hahaha… Iya. Sori. Old habits die hard. Biasa,” dia masih tetap ramah seperti dulu. “Din, kamu sendirian? Atau sama siapa?”

“Sendirian,” jawabku, dan kembali aku menyesal.

“Nggak sama pacar?”

“Haha, enggak.”

“Enggak sama pacar atau enggak ada pacar?”

Setelah mempertimbangkan jawaban yang pantas kuutarakan, akhirnya aku memutuskan untuk balik bertanya, “kamu sendiri?”

“Dua-duanya,” ujarnya sambil tersenyum, melihat lurus ke mataku.

Aku tak pernah merasa nyaman jika ada yang menatap lurus ke mataku seperti itu. Apalagi dia. Aku harus melarikan diri dari sini.

“Ng… sebenarnya aku di sini mau ketemu klienku. Kita ada lunch meeting,”

“Oh, gitu,” dia terdiam sebentar. “I see your old habit die hard too, ya?”

“Maksud kamu?”

You know…”

No, I don’t. Tapi aku nggak bisa ngobrolin ini sekarang. Takut telat. Aku duluan ya.”

“Wah, oke kalau gitu. You should call me sometime. Masih ada nomorku kan?”

“Masih. I will.”

“Oke. Take care ya Din,” ujarnya sambil mengusap rambutku.

“Kamu juga, Tam. Daah.”

Setelah dia menghilang di tengah kerumunan orang, aku buru-buru melangkah ke arah parkiran untuk meninggalkan mall itu. Meninggalkan Tama. Lagi.

oOoOo

Pertemuan dengan Tama mengingatkanku pada jurnal-jurnal usang yang tertumpuk di rak buku. Semua ada di sana. Semua kenangan, semua cerita cinta indah sekaligus norak yang pernah terjadi di antara aku dan dia. Semua sms centil yang Tama kirimkan padaku, yang selalu aku tunjukkan keesokannya kepada Rina – sahabatku sewaktu kuliah dulu – tertulis di jurnal-jurnal itu.

I see your old habit die hard too, ya?” Teringat kembali kata-katanya tadi siang. Aku tahu persis apa maksudnya. Kebiasaan itu tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan klien ataupun lunch meeting. Maksudnya adalah kebiasaanku melarikan diri.

Hubunganku dengannya hanya berlangsung beberapa bulan saja. Padahal kami sudah dekat selama beberapa tahun. Dan setelah itu, setelah kami putus, aku menghindarinya dengan 1001 cara. Commitment phobe? Mungkin. Aku tak tahu. Yang jelas, di bulan ketiga, aku sudah malas mengangkat teleponnya, malas membalas SMS, bahkan malas bertemu. Jangan tanya. Aku sendiri juga heran. Padahal tidak ada yang salah dengan Tama. Baik, ramah, gentleman, pintar, liked things that I liked.

Sempurna.

Ah… tapi mungkin itu dia masalahnya. Call me crazy, tapi aku punya kecurigaan yang besar terhadap hal-hal yang terlihat sempurna. Too perfect things bound to fall apart.

KRIIIING!


Telepon? Jam segini? Aku melirik ke arah wekerku yang menunjukkan angka 23.41 di layarnya. Siapa?

“Halo?” kuangkat juga telepon itu.

“Halo.”

“Oh, kamu,” Tama ternyata. “udah malem gini masih bangun?”

“Masih dong. Emangnya kamu bukan kalong lagi sekarang?”

“Masih sih. Tapi hari ini aku capek banget, jadi nggak kayak kalong,” berbohong lagi.

“Oh gitu? Kalau aku sih jadi kepikiran kamu terus karena kita ketemu tadi siang.”

“Oh ya?”

“Iya. Dan lagian, aku ragu kamu bakal telepon aku. Makanya aku telepon kamu duluan. Kita
harus ketemu.”

“Ketemu? Kenapa?”

“Kok kenapa? Aku pengen catch up on things. Kamu kerja di mana, kabar mama-papa kamu gimana. Things like that. Kamu nggak pengen?”

Ada nada kecewa di suaranya… Akhirnya aku menyerah. Sebetulnya, terlepas dari hati eksteriorku, harus kuakui, Tama masih membekas di hatiku.

“Oke. Boleh. Kamu mau ketemu di mana?”

Starbucks Kemang.”

Deg! Aku tersentak sesaat.

“Di sana?”

“Iya. Kenapa?”

“Nggak. Nggak apa-apa. Mau kapan?”

“Sabtu. Jam 10 pagi.”

“…”

“Oke ya?”

“Ng… Oke.”

“Ya udah. ‘Till then, Din. Selamat tidur ya.”

“Yup. Thanks, Tam. You too.”

Klik!


Begitu telepon ditutup, buru-buru kubuka sebuah jurnal dan mencari tulisan pertamaku setelah putus dari Tama:
Jakarta, 01 Juni 2005

Sabtu, pukul 10 pagi. Aku datang lebih dulu, menunggumu di sebuah kafe. Aku mendudukkan diri di bangku paling depan, yang paling dekat dengan pintu. Dengan demikian aku bisa melihatmu dengan mudah ketika kamu datang nanti.
Ah… bohong.
Aku memilih bangku itu agar salah satu dari kita bisa cepat-cepat keluar dari kafe ini sekaligus percakapan kita nanti.

oOoOo

“Kamu tau nggak? Si Budi itu sekarang udah nikah!”

“Oh ya?! Sama siapa?” Tak kusangka pertemuan ini berubah menyenangkan. Aku dan Tama masih bisa ngobrol dengan ceria. Dia memang betul-betul tak berubah. Hanya dalam 1 jam dia bisa mengubahku secara total. Aku yang tadinya bukan main ogah-ogahan bahkan hanya untuk bertemu, sekarang bisa bercanda dan bertukar cerita dengannya. Baru aku tersadar, he was, and still is the only one who can make me feel like a whole person.

“Sama… Jangan kaget ya. Sama Bu Diah!”

“Dosen kita?!?!?!”

“Iya! Hahahahahaha…”

“Gila! Kok bisa?”

“Aku juga nggak tau! Tiba-tiba dia nelepon aku ke kantor dan bilang soal pernikahannya itu. Mereka nggak ada resepsi. Kabarnya sih pernikahannya emang ditentang sana-sini.”

“Oh…” Aku mengangguk-angguk tanda mengerti. Dalam hati aku cemas karena dia mengungkit pernikahan. Ini artinya dia akan mengungkit tentang hubungan kami dulu.

“Kamu?” Nah ini dia.

“Apa?”

“Kamu ada rencana mau nikah?”

Aku menggeleng. “Tidak ada sama sekali. Bukannya waktu itu aku bilang aku nggak ada pacar?”

“Nggak. Kamu cuma balik nanya sama aku.”

“Oh? Iya ya?”

“Iya.”

Sesaat pembicaraan terhenti. Aku tak tau apa yang dipikirkannya, tapi yang jelas aku merasa awkward.

Tiba-tiba tangannya meraih jari-jariku. “Aku dulu sempat mikir kita bakal nikah,” ujarnya dengan lembut.

“Bohong. Kamu bercanda ya?”

“Nggak, aku serius,” jawabnya sambil masih memainkan jari-jariku. Aku membiarkan tanganku di tangannya. Nyatanya aku kangen dengan gandengan tangannya.

“Kamu nggak pernah bilang, Tam.”

“Din, bagaimana aku bisa bilang ke kamu? Teleponku kamu reject. SMS-ku kamu nggak pernah bales. Ketemuan pun kita susah. Kamu bilang lagi ujian lah. Lagi sibuk buat acara keluarga lah. Aku bisa apa?”

Aku diam. Menarik tanganku agar tampaknya aku hendak meminum kopi yang tersisa di cangkir – padahal cangkir itu telah kosong. “Maaf, Tam.” Aku menunduk.

“Hahaha. Udah. Jangan minta maaf. Aku mau bilang ke kamu sekarang,” dia mengambil tanganku lagi dan kali ini dia kembali menatap mataku, “aku… kali ini mau menikah betulan.”

“Kamu… menikah? Dengan siapa?” Aku tercekat. Di hatiku yang paling dalam, aku ingin sekali dia menyebut namaku lagi.

“Kamu… kamu tau orangnya,” matanya menatapku lembut sekali. Untuk pertama kalinya aku tak keberatan ditatapnya. Aku suka situasi ini. Seperti ciuman pertama Terry dan Nicky di film An Affair To Remember.

Sempurna.

KLING-KLING.


Perhatianku pecah karena bunyi lonceng yang datang dari pintu kafe di belakangku. Seseorang baru saja masuk.

“Din. Kamu tau orangnya,” ujar Tama sekali lagi.

“Siapa?” Hatiku mulai berdebar. Katakan! Katakan sekarang! Katakan namaku sekarang! Aku bersumpah aku akan menjadi istri nomor satu di dunia. Aku bersumpah penyakit melarikan diri yang kuidap itu akan pergi untuk selamanya. Aku janji akan–

“Hai! Kalian sudah selesai ngobrolnya?” Ada suara yang datang dari balik punggungku.

“Rina?! Rinaaaa!! Apa kabaaar?” Rina, sahabatku dulu. Aku bangun dari duduk untuk memeluknya. Bertambah lagi kegembiraanku hari ini, “kok bisa sih kita ketemu lagi di sini?”

Dengan tersenyum Rina menoleh ke arah Tama, “Tam? Belum selesai ya ngobrolnya?”
Tama tersenyum, “Sudah hampir kok.” Dia lalu bangun dari duduknya dan meraih tanganku
lagi. Aku menoleh ke arahnya. Ini dia, pikirku. Ini dia saatnya kamu menyebut namaku, Tama.

“Dina…”

“Iya, Tama?”

“Tunanganku. Kamu sudah kenal kan sama Rina?”

Deg! Serta merta aku melepaskan pegangan tanganku dari tangan Tama. Seperti orang linglung pikiranku sempat hilang. Sesaat semuanya berjalan dengan slow motion dan dalam warna hitam-putih seperti film-film lama. Akhirnya setelah disadarkan oleh sakit hati, kupeluk lagi Rina untuk mengucapkan selamat dengan getir. Rina yang tak tahu apa-apa mengucapkan terima kasih kepadaku dengan tulus.

“Tama…” kusodorkan tangan kananku untuk memberinya selamat, “Selamat ya.”

“Makasih ya, Dina,” ujarnya sambil menarikku ke dalam pelukannya. Di telingaku ia bisikkan, “kamu kira… aku nggak bisa membalas kamu?”

...

Sempurna.

No comments:

Post a Comment