Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

09 October, 2007

Kita di Tengah Hujan

KRIIING

“Halo?”

“Ca, lo jadi jemput gue kan? Jadi minta temenin ke Bandung kan?”

“Jadiiiiiii!!! Lo udah siap kan? Gue udah di tengah jalan nih. Bentar lagi nyampe rumah lo. Jangan-jangan lo baru bangun?”

“Yaaaahh…elo lupa nelepon gue untuk ngebangunin gue kan!”

“Ah! Iya! Aduuuh… Sori ya, Dim. Lupa. Nggak apa-apalah. Nanti gue tunggu dengan sabar. Maaf ya…”

“Wahahaha. Nggak, kok, enggak. Gue udah siap kok. Duduk manis di depan teras.”

“Wuah! Udah ganteng ya?”

“Udah doong. Mau ketemu elo, masa’ gue nggak tampil ganteng? Ya nggak? Ya nggak?”

“Ehehehe… ah dikau. Bisa aja. Ya udah, nanti kalau udah deket rumah elo, gue miskol ya.”

“Sip! Ati-ati ya. Daaah.”

“Daaah.”

Namanya Dimas. Statusnya sahabat. Dari sekian banyak orang di hidupku, hanya dia yang kuperbolehkan memanggilku dengan panggilan “Ca!” Orangnya baik, supel, ramah, sopan, pintar, dan jago mengambil hati orang. Salah satunya hatiku. Norak memang. Klise murahan, tapi aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri.

Hari ini, Dimas dengan baik hatinya setuju untuk menemaniku ke Bandung. Aku mau mengambil titipan dari tanteku yang tinggal di sana. Bukan, ini bukan rencanaku untuk membuatnya naksir padaku. Tapi jarak Bandung-Jakarta terlalu jauh untuk dilalui sendirian. Lagipula, tak mungkin aku dan dia bisa jadi pasangan. Kata orang, kita sudah terlalu dekat. Persahabatan kami ini saja sudah dicemburui banyak cewek di kampus. Aku sendiri tak yakin perasaanku ini mau diapakan karena aku tak yakin siap untuk melepas status sahabat kalau-kalau… KALAU Dimas menerima… atau menolakku.

“Hei!” Ada suara dan ketukan di jendelaku. Panjang umur.

“Hoi. Kok elo bisa tiba-tiba di luar? Gue baru mau miskol,” aku menurunkan jendelaku.

“Kan gue udah bilang tadi… gue udah duduk manis di teras. Gue bisa lihat mobil lo dari jauh.”

“Oooo… iya juga, ya.”

“Gue nyetir dong!”

“Hah. Nggak usah! Nggak apa-apa, gue aja yang nyetir!”

“Nggak,” ujarnya sambil membuka pintu mobilku, “gue aja. Pindah sana.”

Mau tak mau aku pindah ke kursi penumpang depan. Begitu mobil mulai melaju, aku menengok ke arahnya, “Dim, gue jadi nggak enak. Kan elo yang nemenin gue, masa’ elo nyetir juga?”

“Tenang aja Ca, gue kan cowok. Masa’ gue biarin elo nyetirin gue? Lagian palingan elo ngantuk sekarang. Lo tidurnya baru jam 3 kan? Bangunnya…kira-kira tadi jam 5.30.”

“Kok tau? Elo dukun ya?”

“Ca, I can read you like a book. Elo insomnia juga gue udah hafal.”

“Ahahaha, Sok tau banget sih lo,” kupukul pelan bahunya. “Tapi iya sih, tadi malem emang gue susah tidur. Biasalah.”

“Ya udah, sana. Tidur aja. Nanti kalau udah sampai, gue pasti bangunin.”

“Nggak. Gue nggak pengen tidur kok. Begini aja sih gue kuat.”

Begitulah Dimas. Pelan-pelan, tanpa ia sadari, dia membawaku terbang dan menyakitiku sekaligus. Perhatiannya padaku menjadi sesuatu yang sangat berharga… tapi pada saat yang bersamaan, aku harus menerima bahwa perhatiannya itu sudah mendarah daging di dirinya. Yang kuanggap istimewa tak berarti apa-apa untuknya.

“Nyalain iPod lo dong, Ca.”

“Oke.” Kusambungkan iPod ke tape mobilku untuk menemani perjalanan kami ke Bandung.


oOoOo


…Kok gue merem ya? Eh? EHH? ADA TANGAN SIAPA DI JIDAT GUE? Aku melonjak kaget, tersadar bahwa aku ketiduran.

“Woi. Santai. Tangan gue tuh. Tadi rambut lo kayaknya mengganggu, jadi gue pindahin ke belakang kuping lo. Udah sampai Bandung nih.”

“Uuuhhhh,” aku menggeliat. “Udah sampai ya? Duh, gue jadi malu. Tadi bilangnya nggak bakal tidur, malah ketiduran betulan.”

“Nggak apalah. Lumayan, gue nyetir dengan tenang, nggak dicerewetin.”

“Sialan.”

“Lap dulu tuh, liur lo.”

Aku terkesiap dan mulai menyeka bagian mulutku dengan tisu. Tiba-tiba Dimas mulai tertawa, “bercanda, Ca, bercanda. Nggak ngiler kok. Elo tidur dengan manis sekali,” ujarnya dengan tersenyum tulus.

Deg!

Jantungku? Atau hatiku yang berdetak keras barusan?

“Ca, keluar tol ke mana nih? Rumah tante lo di mana?”

“Kita ke arah Bandung Supermal dulu. Nanti dari situ gue tunjukkin jalannya.”


oOoOo


“Ca… Ada orangnya nggak sih ini rumah?”

“Harusnya ada. Gue udah bilang mau ambil titipan kok.”

“Tapi daritadi kita bel, nggak ada yang keluar. Coba lo telepon ke rumahnya.”

“Nggak punya nomornya.”

“HPnya, sayang.”

“Oh iya! Ih, pintar deh kamuuu…”

Ada lagu Here Comes The Sun di ujung sambungan telepon,. Tanteku memang penggemar Beatles. Tak terhitung berapa banyak CD, DVD, sampai piringan hitam yang ia miliki di rumahnya. Aku sudah mengira ia akan memanfaatkan fasilitas nada sambung sebaik-baiknya.

“Halo? Halo, Tante?”

“Eeeeh, Tasya! Tante baru mau telepon kamu! Kamu di mana? Tante di Jakarta nih, mau ngasih titipan mama kamu!”

“Hah?! Kan Tasya udah bilang Tasya mau ke rumah tante. Tasya lagi di Bandung nih!”

“Hah?! Aduh ya ampuun, tante lupa, Sayang. Sori ya. Aduh, terus gimana dong, Tasy?”

“Gimana ya?”

“Kenapa Ca? Tante lo di mana?” tanya Dimas.

“Di Jakarta, Dim. Gimana dong?” tanyaku balik.

“Ya udah. Nggak apa-apa. Kita main aja yuk!” ajaknya sambil tersenyum. Mischievous. Aku suka.

Kubalas senyumnya, “Halo? Tante? Nggak apa kok. Bilang ke mama, aku mau main-main dulu di Bandung ya. Aku mau lihat-lihat outlet.”

“Oke, Sayang. Maaf ya.”

It’s okay, Tante. Dadaah.”

“Daaah. Ati-ati ya. Bandung lagi suka hujan deras.”

Klik! Telepon kututup.

“Mau main ke mana?” aku menoleh, bertanya pada Dimas.

“Distro, outlet? You pick. Gue setirin.”

“Distro yuk! Biar gue nggak dosa-dosa amat sama elo, ngajak ke Bandung tapi sia-sia.”

“Oke. Distro, kalau begitu. Tunjukkin jalan ya.”


oOoOo


“Dim, hujan, Dim,” ujarku sambil melangkah keluar dari toko.

“Iya. Untung kita tinggal pulang. Udah puas belanja kan?”

“Udah. Gue beliin elo kaos. Tanda terima kasih.”

“Waaah. Asyiiik. Lumayan, dibelanjain. Tapi nggak perlu kok, Ca. Gue ikhlas nemenin elo.”

“Gue juga ikhlas kok beliin kaos buat elo. Eh… sebentar, gue keluarin payung dulu dari tas.”

“Ngggak usah, Ca. Lari aja yuk ke mobil.”

“Tapi hujannya deres, Dim!”

“Memangnya kenapa kalau deres? Cuma air kan, Ca?”

“Kan basah...”

“Yeee. Semua air emang bikin basah, Neng! Ayo dong!”

“Kenapa segitu pengennya sih?”

“Sebenernya… kemaren malem, gue nemenin nyokap gue nonton HBO. Ternyata lagi ada film klasik. Musical gitu. Singin’ in The Rain. Tau nggak?”

“Tau lagunya aja. Belom pernah nonton.”

“Wah, elo harus nonton. Elo pasti suka. Gue aja yang cowok nontonnya seneng kok.”

“Ng… Elo yakin masih cowok?” Candaku.

“Kurang ajar lo. Gue tuh suka cuma karena ada adegan Gene Kelly – yang main di film itu – nyanyi Singin’ in the Rain di tengah hujan. Dia bawa payung, tapi akhirnya payungnya nggak dipakai waktu dia nyanyi-nyanyi itu.”

“Oh? Kuyup dong dia?”

“Iya. Makanya gue pengen banget hujan-hujanan. Mumpung ada temennya. Atau…elo nggak mau main hujan-hujanan sama gue?” tanyanya dengan muka sok memelas, memancingku untuk tertawa.

“Ahahahha. Udah ah. Jangan sok puppy eyes gitu. Oke, gue turutin ajakan elo, Dim. Apa sih yang enggak buat elo?” Kalimat terakhir kuucapkan sepenuh hati.

“Oke,” dia menggandeng tanganku. “Hitungan ke-3, kita lari bareng ya. Satu… Dua… Tiga!!!”

Aku dan Dimas berlarian di tengah hujan. Tadinya menuju mobil, tapi tangan Dimas yang masih menggandeng tanganku tiba-tiba menarikku menjauh dari mobil. Lari kami melambat jadi langkah-langkah biasa.

I’m siiiiingin’ in the rain. Just siiiingin’in the rain…” dia mulai bernyanyi. Konyol sekali. Lucu.

What a gloooorious feeling… I’m haaappy again…” aku menyahuti nyanyiannya. Dia mulai tertawa. Aku juga. Aku tahu pasti di suatu tempat ada orang yang melihat kami dan mencibir, kalau tidak berpikir kami berdua gila, bernyanyi-nyanyi di tengah hujan.

Dia menarikku lagi sehingga kami berhadapan dan tanganku yang satu lagi digenggamnya juga. Karena kaget, tawaku jadi hilang ketika mataku bertemu matanya.

“Tau nggak,” dia meneriakkan kata-katanya bersaingan dengan suara hujan yang menderu, “kenapa Gene Kelly hujan-hujanan waktu nyanyi Singin’ In The Rain di tengah hujan, padahal dia punya payung?”

“Nggak tau! Kenapa?”aku balik bertanya, dengan suara yang berhantam juga dengan hujan.

Wajah Dimas yang sedang didera hujan tiba-tiba mendekat. Matanya susah payah melawan tetesan air untuk melihat ke mataku.

“Karena,” jawabnya sambil tersenyum lembut kepadaku, “dia lagi jatuh cinta.”

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku begitu mencintai hujan.




Ps. based on a poem with the same title.

No comments:

Post a Comment