Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

20 October, 2007

Mantan teman


“Aduh book...Gimana nih, gue bingung, mantan pacar gue ngajak balik.
Gue mesti gimana ya? Aduh binguuung...!”
Mantan pacar. Wah, frase itu tiba-tiba terdengar lagi dan lagi-lagi membuatku tercenung. Tercengang dan merenung. Orang-orang yang mempunyai mantan pacar pasti mengerti,
aku tercengang karena masa lalu rushing back di benakku, datang tiba-tiba tanpa diinginkan. Aku merenung karena teringat apa yang pernah kualami bersama mereka.
Hhhh...
Biasanya, semua renungan itu akan berakhir dengan helaan nafas, helaan sesal. Hampir semua hubunganku dengan mantan pacarku berakhir buruk. Setelah putus hubungan, putus juga pertemanan kami. Sekali lagi hhh...

Tapi, ada satu orang yang berbeda. Sebenarnya sih dia tidak bisa dibilang mantan pacar. Karena apa yang kualami bersamamya dulu bukan suatu hubungan berstatus pacaran. Hubungannya tentu menyangkut perasaan dan cinta juga. Orang bule sana biasa menyebutnya dengan fling.

Yah, berarti dia bisa jugalah dibilang mantan. Mantan yang pernah memenuhi benak dan ruang hatiku meskipun sebentar. Mantan yang pernah membuatku senang sekaligus gunah gulana meskipun tidak lama. Bukan, sekali lagi bukan mantan pacarku.

Namanya Aldo. Sebut saja dia, mantan teman termesraku. Hubunganku dengannya adalah hubungan yang paling tidak berstatus, paling sebentar, paling membingungkan, tapi paling berkesan. Mengapa begitu? Karena aku tidak pernah menyangka aku akan menyukainya. Aku tidak pernah mengira aku akan mempunyai sejarah cinta bersamanya. Aku tidak pernah menerka aku akan jatuh dan mencinta.

Terlebih lagi, aku tidak pernah berharap aku akan jatuh dan mencinta di kala semua itu sudah berakhir. Ironis memang. Tapi hidup adalah sebuah ironi. Kita akan selalu terkejut dengan apa yang dapat terjadi dalam hidup kita. We’ll never know what we will get. Seperti yang kualami sekarang.

Perasaan yang kumiliki untuknya terasa mubazir. Aldo tidak tahu tentang perasaanku dan aku tidak yakin aku ingin dia mengetahuinya. Perasaan ini menyakiti hatiku. Lebih buruk lagi hubunganku dengannya tidak benar-benar putus. Dia masih menjadi temanku. Bukan lagi teman termesraku, dia sekarang hanya seorang teman baikku.

Lalu, apakah kau tahu kapan hatiku meringis kesakitan? Yah, hatiku menjerit kala aku menjalani hari-hariku sbagai temannya. Teman untuk berbagi cerita suka dan duka. Teman yang selalu mendukungnya. Teman yang selalu mendengarkan cerita hatinya, tetapi tidak pernah meperdengarkan perasaannya sendiri...
Akhir-akhir ini, jeritan hatiku menjadi lebih keras. Ini terjadi karena aku terlalu ingin menjaga pertemananku dengannya. Dan dia terlalu ingin melupakan apa yangpernah kami alami bersama.
“Tashaa...! Haai, gue udah nyariin lo kemana-mana. Gue pengen curhat banget niih...”
Aku juga. Aku ingin mencurahkan perasaan ini.
“Oh iya gue juga...Kemana aja sih lo? Sibuk nih mentang-mentang punya gebetan baru...?”
Kenapa kau melupakan aku? Kenapa kau melupakan kemesraan kita dulu?
“Hehehe, udah deh kita ngobrol yuk. Gue lagi bingung nih mesti gimana. Kania benar-benar bikin gue jatuh cinta setengah mati sekaligus kebingungan setengah hidup. I really don’t know what to do to get her love...Dia itu...bla..bla...bla...”
Aku tahu Aldo, aku tahu apa yang bisa kaulakukan untuk membuat seeorang tertarik padamu. Aku tahu bagaimana kau dapat membuat orang jatuh cinta. Itu hanya perlu proses yang sebentar, seperti dulu. Apakah kau ingat waktu itu Aldo?

---------------------
“Hmm Sha... i don’t know why, but i really care about you...kamu tau kan? Gue sayang deh sama lo...”
“Ah, gue engga tuh. Hehe...Engga deng, gue juga sayang sama lo...”
Hari-hari bersamanya dulu selalu indah. Meskipun status hubungan itu tidak jelas. Tapi , tanpa disadari atau tidak, kami menikmati kebersamaan kami tanpa hadirnya pria atau wanita yang lain. Kami menyukai keberadaaan satu sama lain. Mulai dari nonton bareng, jalan bareng, makan malam bareng,dan pokoknya hampir semua hal yang orang-orang berpacaran lakukan.

Di tengah-tengah kemesraan dan kedekatan kami, gundah gulana memang selalu hadir mengganggu hati dan pikiranku. Aku sempat bingung, hubungan itu mau dibawa kemana. Aku sempat tidak tahu apakah aku akan terus menunggu kepastian yang tidak jelas akan hubungan kami.
Sampai suatu saat di pojok nyaman Starbucks Coffee Parijs Van Java, Aldo menjelaskan ketidakjelasan hubungan kami.

You know what Sha...I really love....going out with you and to have you around me. Tapi, lo pasti bakal sependapat sama gue. We don’t need the commitment, right? We are happy just the way we are now...”
“Hmm.. iya, we don’t need status-lah ya. I mean, what’s the use of it? Kalo kita bisa saling sayang itu udah cukup...”
Begitulah, di tengah nyamannya suasana kafe, diselingi tegukan-tegukan kopi yang menenangkan, kami menyamankan hubungan kami dengan hubungan tanpa status. Just a fling
.

“Duh, Tashaaa...Apa yang gue rasain ke Kania is more than just a fling. Tapi kok dia ngga yakin sama gue ya? Suara Aldo menyeruak dan menutup bayangan masa lalu.
Dia tidak yakin padamu? Ah, bagus sekali. Memang sudah seharusnya seperti itu.
“Yah, kok gitu sih? Udahlah, if you’re sure about how you feel terus tunjukkin aja dengan tulus.”
I love you...I love you
“I did, I have shown her how i feel. Tapi, tau ngga apa yang dia bilang? Yang bikin gue sedih...”
“Apa?” Ah, Gadis itu membuatmu sedih, lupakan saja dia.
“Dia bilang, you know i kinda always knew i will end up only to be your ex-girlfriend. Kamu cuma mau aku ada di daftar cewek yang udah kamu taklukin, kan? Padahal kan engga, Sha...Kan, ngga semua cewek gue gituin. Buktinya, you’re still my girlfriend.
“Hah?”
“Iya, karena you’re a girl and you’re my friend. Jadi, you’re my girlfriend. Apart from our past, lo ternyata masih jadi girlfriend gue kan?
Masa lalu kita, dia ingat itu. Apakah dia ingat waktu dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan tanpa status itu dan kembali menjadi teman biasa? Aku akan selalu mengingatnya. Di pojok Kantin Fakultas Sastra yang nyaman meskipun ramai, dengan ditemani senja, aku menyadari perasaanku yang sebenarnya.

“Tasha...Gue bener-bener sayang sama lo. Gue ngga mau lo terluka. Gue ngga mau kehilangan elo...How bout if..mmm...kita akhiri hubungan tanpa status ini? Gimana kalau kita balikin statusnya jadi status pertemanan lagi?”
Deg. Otak dan hatiku beku. Aldo hanya ingin menjadi temanku saja. Aku merasa aneh. Aku sepertinya ingin menangis. Mengapa hatiku terasa sakit? Tuhan, aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Terlambat kusadari perasaan ini. Aku tidak mau menjadi hanya teman. Tetapi, apa yang kukatakan sangat mengkhianati perasaanku sendiri.
“Ooh...Ya udah. Emang lebih enak temenan lagi ya. Kalo pacaran kan bisa putus, kalo temen engga...” Hatiku menangis
“Bener Sha...! I love you my friend.
“Yoi.” I love you. I love you.

I am his girlfriend. Bukan, bukan pacarnya. Aku hanya teman wanitanya. Aku hanya temannya.
“Ah, gue nyerah aja deh sama Kania. Gue kan selalu punya lo Tasha. Gimana kalo lo jadi pacar gue?”
Deg. Otak dan hatiku membeku. Lidahku kelu. Aku ingin bilang iya. Iya, iya, gue mau jadi pacar lo...! Bibirku tidak bisa bergerak.
“Ah, tapi engga ah. Gue ngga pernah mau jadi pacar lo.”
Pyaar. Hatiku hancur.
“Lo terlalu berharga. Gue ngga mau kehilangan lo, jadi gue ngga pernah mau pacaran sama lo karena nanti bisa putus, kalo temenan kan jalan terus...” Aldo mengusap kepalaku.
Hiks. Hatiku menangis.

No comments:

Post a Comment