Apa salahnya, pikirku. Ketika dia menanyakan berapa hari aku bisa menemaninya jalan-jalan, kubilang dengan pasti, “dua!” Kukira hari pertama kami bisa lunch, lalu dari lunch itu kami bisa menentukan lagi apa yang kami bisa lakukan keesokan harinya. Tapi nyatanya dia mengajakku untuk menginap. Dan aku yang sudah dari sananya susah menolak, apalagi meralat janji 2 hari untuknya, mengatakan “iya” dengan enggan.
“Kok jawabnya males-malesan? Kalau nggak mau, bilang aja.”
“Bukan gitu...”
“Kamu sendiri yang bilang kamu punya waktu 2 hari buat aku.”
“Iya sih.”
“Jadi?”
“Ya udah lah.”
“Oke. Kalau gitu nanti aku hubungi kamu lagi ya soal tempat dan lain-lainnya.”
“Iya. Dadah.”
“Daah.”
KLIK!
oOoOo
00.38
“Ranti tahu kamu di sini sama aku?” tanyaku.
Dennis menggeleng pelan, lalu tersenyum padaku dan bertanya, “kenapa? Menurutku itu nggak perlu.”
Aku sebal bukan main, “dia kan pacar kamu. Kamu ‘kan yang bilang sendiri kalau it’s the best relationship you’ve ever had.”
“Lalu kenapa kamu di sini, Tan?” tanyanya padaku.
“Jujur,” aku menatapnya tajam, “aku nggak tega untuk nolak. Dan aku keburu bilang aku free. Sebetulnya aku sama sekali nggak berencana untuk menginap.”
Dia tersenyum yang rasanya membuatku ingin merobek mulutnya, “berarti kamu masih peduli sama aku ‘kan? Direncanakan atau enggak, kamu ada di sini sekarang.”
Aku diam, tak punya kata-kata lain untuk diucapkan. Yang ada hanya rasa gondok. “Aku mau tidur,” akhirnya aku mengakhiri pembicaraan kami dengan beranjak masuk kembali ke cottage.
“Oke. Sisain tempat untuk aku.”
SIAALL! Aku lupa hanya ada 1 tempat tidur.
“Dennis! Heh, buaya,” aku melongokkan kepalaku ke teras tempat kami tadi duduk-duduk, “jangan macam-macam nanti malam.”
Dia menoleh padaku dan tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Aku menyerah dan masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian tidur. Jeans yang kukenakan dari pagi sudah kotor di sana-sini.
02.20
“Tan... Tania, kamu udah tidur?”
Belum. Mana bisa gue tidur di sebelah buaya? Tapi aku tak mau bergerak. Jantungku berdebar tak karuan. Takut.
Tak mendapat reaksi dariku, ia tak berkata apa-apa lagi. Jantungku mulai tenang... tapi tiba-tiba aku merasakan usapan lembut di rambutku. Setelah itu aku terkejut karena ia mencium keningku, sebelum kembali mengusap-usap rambutku seperti hendak menidurkan anak kecil.
“Ngapain usap-usap rambut?” tanyaku, akhirnya memutuskan untuk membuka mata.
“Enggak... nggak kenapa-kenapa,” jawabnya. “Aku suka ngelihat kamu tidur. Sana, tidur lagi.”
“Kamu nggak tidur?”
“Memangnya kamu peduli? Bukannya tadi kamu bilang aku buaya?”
Aku membetulkan bantal sehingga posisiku sekarang sama dengan dia, setengah duduk, “memang buaya. Tapi buaya juga perlu tidur.”
Dia tertawa, “kamu baik ya.”
“Aku nggak sebaik itu,” jawabku asal-asalan.
“Tan... “
“Ya?”
“Maaf.”
“Maaf kenapa? Yang jelas kalau ngomong,” sahutku ketus, ingin cepat kembali tidur.
“Maaf... aku ninggalin hubungan kita untuk jadian sama Ranti.”
“Oh... soal itu. Nggak apa. It’s over a long time ago. I’m not sure aku masih mikirin itu,” aku bohong. “Kamu masih mikirin itu?”
“Masih...”
“Lalu soal the best relationship you’ve ever had?”
“Itu emang betul... tapi aku juga selalu mikirin kamu.”
“Kamu emang buaya.”
“Dan aku buaya yang ngaku buaya. Aku nggak bohong. Kamu kira kenapa aku ngajak kamu ke sini dan bukan Ranti? Aku tau kita nggak bakal macam-macam. Dan itulah seberapa besar sayang aku ke kamu.”
That does it. Keterlaluan sekali orang ini. “Kalau kamu betulan sayang, kenapa kamu tinggalin aku dulu? Kenapa kamu diam-diam pindah ke Ranti?” Jangan nangis sekarang.
Terlambat. Airmata keluar sudah. Terbongkarlah kalau semua ucapan ketus dan perbuatan kasarku hanya untuk menutupi sakit hati. Dia hanya diam dan menunduk. Keluar lagi kata ‘maaf’ dari bibirnya.
“Aku nggak perlu maaf kamu,” sambarku, “aku mau tidur lagi!” Aku mengubah diri dari posisi duduk ke posisi tidur, kali ini membelakangi Dennis.
“Don’t cry, Tania sayang. Aku dulu paling sedih ngelihat kamu nangis, dan sampai sekarang pun aku masih sedih kalau kamu nangis.”
“Shut up.” Aku masih terisak.
Ia mulai bergerak, aku tak yakin tapi sepertinya dia mengikuti posisi tidurku.
Dan benar, dilingkarkan tangannya di pinggangku...
What the hell are you doing, you bastard?!
“Get your hands off me! Kamu kira dengan meluk aku kayak gini masalahnya selesai?”
Dari belakangku dia menjawab, “aku nggak ada maksud apa-apa. Anggap ini wujud permintaan maaf aku ke kamu. Kamu boleh nangis sepuasnya.”
“Aku udah bilang tadi, aku nggak perlu maaf kamu. Aku nggak perlu pelukan kamu. Mau nangis sepuasnya, itu urusan aku!” Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tangannya... tapi ternyata melakukannya dibarengi dengan tangisan betul-betul susah. Pada kenyataannya aku menangis sampai aku tertidur lagi – di tangan Dennis.
03.14
Aku melihat jam di handphoneku. Tangan Dennis masih melingkar di tempat yang sama. Dengan hati-hati agar tak membangunkannya dari tidur, aku memindahkan tangannya dan beranjak ke arah kulkas. Aku perlu minum. Menangis benar-benar menguras tenaga.
Aku tak pernah mengira akan menangis seperti itu di depannya. Selama ini, sejak ia meninggalkanku untuk Ranti, aku seperti tak pernah merasakan sakit hati. Santai. Rasanya seperti tak pernah menjalin hubungan dengan Dennis sama sekali.Tiap kali aku bertemu dengan Ranti dan Dennis, aku selalu tersenyum dan menyapa mereka lebih dulu. Ranti yang justru terlihat tidak enak berada di dekatku.
Melihat selimut yang sebagian besar berada di sisi tempat tidur yang kupakai menangis tadi, aku jadi kasihan. Akhirnya kuselimuti juga dia. Dia masih tidur dengan pulas. Sementara aku kembali ke sofa, menyalakan tv dengan suara yang sekecil-kecilnya.
03.37
“Kamu lagi apa?” ada suara mengantuk yang datang dari arah tempat tidur.
Aku menoleh, “nonton.”
“Nonton apa? Emangnya ada yang bagus jam segini?”
“Nggak ada... Aku... aku sambil mikir.”
“Mikir? Tentang apa?”
“Tentang aku, kamu, dan Ranti.”
“Oh...”
“Iya... dan aku mau minta maaf. I overreacted. I was fine before but i guess this whole thing triggered the timebomb.”
“Nggak apa. Itu hak kamu. Aku emang salah. Dari dulu pun aku tahu itu.”
“Ranti benar-benar nggak tahu kamu di sini sama aku?”
“Sama sekali nggak tahu.”
“Isn’t this cheating?”
“Yes.”
“And you’re fine about it?”
“No... but i’m thankful for this moment. Aku jadi ingat betapa nyamannya berada dekat kamu, Tan,” senyumnya lembut.
“Dan aku jadi ingat betapa gombalnya kamu, Den,” senyumku sarkastik.
‘Hahaha. Truth or truth?” Ajaknya menantangku bermain, “considering nggak ada orang yang bisa kita pakai untuk dare...”
“Shoot.”
“Did you love me? DO you love me?” tanyanya. Sial, dia tembak langsung.
Aku diam sesaat... menimang-nimang apakah aku bisa menjawab pertanyaannya.
“Tan... kalau kamu nggak mau jawab –“ ujarnya.
“Aku mau jawab,” sambarku. Aku sebal. Merasa ditantang, “yes... and yes,” ada keheningan di kamar, tapi aku menyambungnya cepat, “same question, back at you.”
“Jawabanku... sama untuk dua-duanya.”
Aku kaget, tidak mengira jawaban itu akan muncul.
“Tan... what are you thinking now?”
“I’m thinking... i’m thinking nothing. Jawaban kamu bikin aku kaget. My turn, same question lagi.”
“Ah! Curang nih! Masa’ same question terus?”
“Biarin. Mana jawaban kamu.”
“Okay. I’m thinking... betapa nyamannya having you by my side ketika bangun dari tidur.”
“I like having someone to wake up to, too,” tanpa sadar aku sudah membuka hatiku lagi untuknya.
Dia tersenyum. “Kamu nggak tidur lagi? Kita harus ngantor besok... eh, nanti, maksud aku,” ujarnya sambil menepuk-nepuk bantalku.
Dengan gontai aku berjalan ke arah tempat tidur dan memasang diri ke posisi sebelum aku terbangun. Tangan Dennis melingkari pinggangku lagi. Tapi kali ini tak kutampik-tampik. Biarlah malam ini menjadi 1 kelemahanku. Dia mendekat...lebih dekat lagi...dan lagi. Dia cium tengkukku dan mempererat pelukannya. Aku diam tak bergerak.
Kami berdua tertidur lelap malam itu.
07.00
“...ang, iya. Ini aku lagi mau ganti baju... Iya, kan aku lembur di kantor kemarin.” Aku membuka mata dan mendengar suara Dennis di belakangku, berbicara melalui handphonenya. Aku bisa mendengar suara lawan bicaranya. Mudah ditebak – pasti Ranti.
“Go back to sleep,” ujarnya ketika melihatku terbangun.
“Work.”
“We got 10 minutes,” dia menaruh tangan kirinya di punggungku dan menarikku mendekatinya. Aku dipeluknya lagi, kali ini téte-â-téte, “atau kita mau absen? Izin sakit?”
Sudah gila dia!
“Boleh.”
Atau mungkin aku sudah ikut jadi gila.
PS: just to be clear (karena gue pernah ditanya), this is NOT a 100% true story.
No comments:
Post a Comment