Aku percaya 100 persen.
Dalam percakapan-percakapan yang kami lakukan hampir setiap malam di terminal ini, aku pulang dari lembur sedangkan dia hendak pergi melembur, dia selalu mengajarkan 1-2 hal baru padaku.
“Aku malah belum pernah baca bukunya. Udah nonton filmnya belum, Mbak?”
“Kamu nggak suka baca buku tebal ya? Filmnya? Belum, tuh. Ada ya? Aku nggak pernah cari-cari film bagus sih. Kalo film esek-esek sih banyak. Pelangganku suka minta disetelin dulu sebelum main.”
Aku tersenyum miris, agak geli mendengar penuturannya, “Mbak Min mau nonton filmnya? Aku punya di rumah. Kapan-kapan kubawain ya ke sini.”
“Beneran aku boleh pinjam? Kalau nggak ngerepotin mah, boleh!” ujarnya sok acuh sambil menarik asap dan nikotin rasa mentol ke dalam paru-parunya. Tapi matanya... matanya itu tak bisa menyembunyikan kegirangannya. Dia menoleh padaku, “makasih ya, Kania,” sambil tetap menikmati rokoknya. Aku mengangguk dan tersenyum.
Lima menit berlalu tanpa satu kalimat pun dari bibir kami. Bis yang kami tunggu pun tak juga muncul. Aku, yang duduk menyender di bangku, mulai mengayun-ayunkan kaki yang tak sampai ke lantai terminal. Sementara itu, kulihat Mbak Minah sudah menyiapkan rokok ketiga untuk dinyalakannya.
Dari sudut mataku aku tau Mbak Minah sedang mengamatiku dengan seksama dan hati-hati. Dengan masih menunduk aku bertanya padanya, “kenapa Mbak?”
“Nggak. Kamu tau siapa yang nyiptain internet?”
Aku terkesima dengan pertanyaannya. “Nggak tau.”
Satu helaan asap. “Aku juga enggak.”
Aku menengok ke arahnya. Diam. Bingung.
“Tapi katanya Al Gore sering disebut-sebut... sering dipuja-puja jadi orang yang membawa internet ke dunia kita ini.”
“Al Gore?”
“Iya. Al Gore. Wakil presidennya Amrik.”
“Oh, gitu?”
“Iya. Kamu percaya?”
“Kalo dia yang nyiptain internet? Aku sih percaya aja. Nggak tau aslinya sih.”
“Oh. Kalau aku nggak percaya.”
“Kenapa?”
Mbak Minah tidak menjawab. Bis jurusanku keburu datang. Alhasil aku berpamitan dengannya dan segera menuju pulang. Tak lama setelah aku naik ke dalam, bis jurusan Mbak Minah tiba di terminal dan dia menuju tempat kerjanya.
oOoOo
“Malam, Mbak,” malam ini Mbak Minah sampai duluan di terminal. “Kok pagi amat di terminal?”
“Halo. Iya. Aku lagi butuh uang.”
“Untuk apa?”
“Macam-macam,” ujarnya, sambil menyalakan sebatang rokok lagi.
“Oooh...”
“Aku pengen kayak kamu,” lanjutnya.
“Maksud Mbak Min?”
“Aku mau hidup yang benar. Aku mau ngumpulin uang halal. Tapi untuk ngumpulin uang halal aku harus ngumpulin uang haram dulu yang agak banyak.”
“Untuk?”
“Sekolah,” ujarnya sambil menaikkan bahu, “aku mau sekolah lagi. Atau kursus, les. Aku iri lihat kamu. Pakai baju kantor, pulang pergi ke kantor, lembur di kantor. Kalau aku ini lembur melendir.”
Aku diam saja. Tak tau mau bilang apa.
“Agamamu apa?” Tiba-tiba ia bertanya.
“Aku? Islam.”
“Aku juga.”
Aku diam lagi.
“Kamu orang baik?”
“Maksud Mbak?”
“Kamu kerja halal?”
“Insya Allah, Mbak.”
“Kalau aku... bisa masuk surga nggak?”
Kali ini aku betul-betul tak tau mau jawab apa.
Tiba-tiba Mbak Min berdiri. Rupanya bisnya sudah datang. Tepat di belakangnya adalah bisku. Kami lalu beranjak pergi dari tempat duduk masing-masing.
oOoOo
“Kamu mau?” tanyanya menyodorkan bungkus rokok kepadaku. Malam ini rokoknya beda merk. Mungkin merk yang biasa sudah habis terbeli orang yang datang silih berganti di terminal.
“Enggak, Mbak. Makasih,” aku tersenyum. Dia menarik kembali tangannya. Dia mulai terbatuk-batuk... sepertinya jutaan rokok yang telah dihisapnya menggerogoti pernafasannya.
“Mbak... apa nggak sebaiknya berhenti merokok?” aku bertanya dengan suara pelan dan hati-hati. Dia menoleh cepat dan melihat tajam ke arahku. Aku menunduk. Takut telah menyinggung.
“Kenapa?”
“Ng... Mbak Min kan batuk-batuk. Lagipula, ngerokok kan ngabisin uang, Mbak,” jawabku, hati-hati lagi.
Dia menatapku, menatap rokoknya, melihat ke arahku lagi, lalu melihat ke rokoknya lagi seakan-akan sedang mempelajari lintingan tembakau di tangannya itu. Tak kusangka dia lalu mencelupkan rokok yang masih terbakar itu ke gelas bekas air mineral yang ada di sampingnya. Bungkus yang masih berisi lebih dari setengah pun dilemparnya ke jalan raya – yang kemudian dilindas oleh angkot yang melintas.
“Langsung begitu?” tanyaku tak percaya.
“Iya. Kamu benar. Dan aku harus mulai dari sekarang. Aku mau berubah, dan kadang untuk berubah, kita harus memulai dengan ekstrim. Nanti kalau sudah berhasil berubah, baru aku menjalani pelan-pelan,” senyumnya lembut. Beda sekali dengan dirinya yang terlihat acuh sebelum ini.
“Kalau begitu, aku doain Mbak Min biar bisa tercapai perubahan yang Mbak mau.”
“Amin. Malam ini aku mau bilang berhenti ke inangku. Semoga dia nggak marah kalo aku mau balik jadi Minah, bukan Mina lagi.”
“Memangnya dia bisa marah ke Mbak?”
“Yah... bisa lah. Aku ini berhutang budi banyak sekali ke dia.”
Aku mengangguk-angguk sok mengerti.
“Kania...” panggilnya.
“Iya?”
“Mulai besok aku bebas!” Ada berbagai macam emosi di nada bicaranya. Senang, lega, bersyukur, sekaligus takut.
Aku tersenyum kepadanya, “Iya, Mbak. Besok Mbak berarti sudah nggak perlu kerja begini lagi.”
“Berarti aku bisa pakai waktuku nonton film-film bagus. Kamu masih mau kasih pinjam Dracula ke aku?”
“Masih dong, Mbak. Sori ya aku lupa bawa terus dari kemarin. Besok pasti aku bawain buat Mbak.”
“Bener ya, Kania. Kalau begitu aku bawain kamu novelnya. Kamu harus baca juga. Sayang kalo sampai nggak baca novelnya. Pokoknya kamu harus sempet-sempetin baca.”
Aku tertawa, “boleh. Kebetulan kerjaan di kantor lagi nggak sibuk-sibuk amat. Kalau begitu kita barter besok.”
“Oke! Aku jamin pasti bukunya lebih bagus dari filmnya.”
“Ah, nggak mungkin! Filmnya juga bagus kok!”
Hingga bis bertuliskan jurusan kami masing-masing datang, kami masih tertawa-tawa. Sungguh beda Mina yang menjual tubuh tiap malam dengan Mina yang hendak berubah kembali menjadi Mbak Minah. Ada sebuah pagar besi yang terasa terbuka sekarang. Dulu ada jarak yang dihembuskan berbarengan dengan hembusan asap rokoknya. Tapi sekarang ada acuh yang hilang, dan ia digantikan kenyamanan.
oOoOo
Terminal ramai sekali hari ini. Aku tiba sore hari. Begitu jam kantorku usai, aku bergegas menuju pulang agar cepat bertemu dengan Mbak Min. Aku tak sabar ingin memberikan dvd ini kepadanya... sekaligus mendengarkan cerita tentang reaksi inangnya ketika Mbak Minah mengatakan ingin berhenti.
Ah, masih jam 5. Biasanya Mbak Min sampai di terminal jam 8. Aku masih punya 3 jam.
“Aduh!” tiba-tiba aku ditabrak oleh seorang petugas terminal. Aku menengok untuk melihat apakah ia akan kembali dan meminta maaf. Ternyata tidak. Dia terus saja berjalan cepat walaupun telah menabrakku.
“Aduh!” aku ditabrak lagi. Kali ini ibu-ibu. Apakah terminal hari ini demikian sesaknya? Tapi tampaknya bukan karena sesak. Aku baru menyadari kalau banyak sekali orang yang berjalan berlawanan arah denganku. Aku menengok. Semuanya terburu-buru menuju ke pintu keluar – di sana ada kerumunan orang yang makin bertambah gerombolannya.
“Ada apa sih, Pak?” tanyaku kepada seorang laki-laki yang sedang bersiap-siap membuka warungnya.
“Katanya tadi ada yang ngelempar orang dari mobil ke depan terminal. Saya juga mau lihat... tapi takut nggak kuat darah,” jawabnya.
“Memangnya darahnya banyak?”
“Waduh, Dik. Nggak tau. Saya kan belum lihat. Coba tanya sama si Samin,” katanya sambil melambaikan tangan memanggil seorang petugas kebersihan terminal, “Min, Samin! Sini!”
“Ape, Pak?” orang yang bernama Samin itu menuntut penjelasan mengapa ia diganggu ketika sedang asyik menonton kontes dangdut di televisi terminal.
“Itu, yang tadi dibuang di depan... darahnya banyak nggak?”
“Kagak. Udah kering semua darahnya. Udah koit dia. Bentar lagi juga polisi dateng. Udah gue panggil kok.”
“Udah jadi mayat, Min? Innalillahi...”
Aku menoleh ke kerumunan tadi. Perasaanku tak enak. Aku mulai berjalan ke sana. Sayup-sayup percakapan sang penjaga warung dan Samin masih terdengar.
“Matinya digebukin kayaknya. Bengep-bengep gitu dah.”
“Ya ampun, cewek ato cowok sih?”
“Mayat cewek, Pak. Tiap malem nunggu di sini kok. Suka ngobrol sama Mbak yang barusan.”
“Yang lonte itu?”
“Iye, yang itu. Kata preman sini, dia dihajar suruhan maminya gara-gara mau berhenti jualan lendir.”
Aku menyibak orang satu demi satu untuk masuk ke tengah kerumunan itu.
Jantungku berdegup keras. Ya Tuhan, jangan sampai dugaanku benar.
“Permisi, Pak,” ujarku sambil susah payah berusaha mengintip ke tengah-tengah kerumunan.
“Sudah nggak bisa maju, Dik. Polisi sudah datang. Sudah dibatasin garis kuning.”
“Oh!” Mataku berhasil melihat ada apa di sana, “nggak apa. Sudah kelihatan, Pak.”
Ada tangan tak bernyawa berlumuran darah memegang novel tebal Bram Stoker di tengah kerumunan itu.
Surga pasti sudah dekat, Mbak Min.
No comments:
Post a Comment