Sudah lama
kami tidak ke sini. Tempat ini masih sama. Hembusan angin yang sama, bau asin
yang sama, bahkan warna langit yang sama. Pasir basah dan sedikit runcing
karang membuat kami harus berjalan dengan perlahan. Kami telah melepas sepatu
kami sejak turun ke pantai ini. Aku selalu menyukai tempat ini, menyukai
keterasingannya, menyukai deburan ombaknya, dan menyukai kesunyiannya yang
sekarang semakin tak bertahan lama. Dulu rasanya, sudut pantai ini hanya milik
kami berdua.
Dia
menggenggam tanganku, dan aku mendongak menatapnya. Helaian rambutnya yang
tertiup angin membuat tanganku secara otomatis ingin terangkat untuk
merapikannya. Tapi senyumnya, tatapan matanya, dan genggaman tangannya,
menahanku. Aku hanya ingin meresapi saat ini. Merasakan kehadirannya di
sampingku. Membiarkan tangannya menggenggam tanganku, dan merasakan semilir
angin yang perlahan membawa bau tubuhnya kepadaku.
Tempat ini
dan dia, semuanya terasa sempurna.
Mungkin aku
harusnya mengatakan sesuatu. Mungkin aku seharusnya tidak membiarkan sunyi ini
terlalu berlarut-larut, tapi seolah tak ada lagi yang tersisa. Aku dan dia,
kami memahami dalam diam. Aku dan dia, kami sudah saling mengenal setiap
incinya dari tubuh kami masing-masing, setiap mimik, setiap senyuman, setiap
kerutan, dan bahkan setiap kerlingan. Aku dulu tak pernah menyangka, bahwa
hilangnya misteri bisa menjadi sesuatu yang memabukkan. Aku dulu selalu
berpikir bahwa harusnya selalu ada satu bagian kecil yang kami sembunyikan,
sesuatu yang kami sisakan hanya untuk diri kami sendiri, sesuatu yang menjadi
milik kami pribadi tanpa perlu kami bagi. Bahwa sedikit misteri akan membuat
segalanya terjaga, sedikit misteri akan membuatnya tetap baik-baik saja. Tapi
apalah yang aku tahu.
Matahari
semakin turun, sinarnya mulai berganti jingga. Sebentar lagi lembayung akan
memenuhi langit. Biasanya kami akan duduk di sini, menatap matahari sampai dia
akhirnya undur diri. Membiarkan langit berganti gelap, menunggu munculnya
bintang, dan mencoba bertahan sampai akhirnya angin malam mengusir kami.
Tapi kali
ini berbeda. Ada sesuatu yang istimewa ketika langit dikuasai jingga. Ada
sesuatu yang agung, sesuatu yang tidak tergantikan. Sesuatu yang membuat apa
yang akan kami lakukan terasa benar. Membuatnya bisa sedikit lebih dipahami.
Tanpa sadar,
genggaman tanganku mengencang, dan dia menoleh menatapku. Dia mengangkat
sebelah tangannya untuk mengelus pipiku. Merasakan panas yang menguar dari
tubuhku. Aku mencintainya, aku sangat mencintainya.
Aku
merengkuh tubuhnya, membiarkan tangannya melingkari tubuhku, dan mendekapku
erat. Sekali ini saja, sekali ini lagi. Tangannya kembali menangkup pipiku, dan
aku memejamkan mata. Membiarkan bibirnya yang hangat membelai sudut bibirku,
membiarkannya membelai tubuhku. Aku hanya ingin saat ini. Saat ketika napasnya
yang hangat berhembus di wajahku. Saat ketika bibirnya memagut bibirku. Saat
ketika tubuh kami saling mendekap tanpa menyisakan celah walau hanya untuk
semilir angin.
Aku ingin
merobek bajunya, dan memagut bibirnya. Aku ingin menelanjangi tubuhnya, dan mencicipi setiap jengkal
kulitnya. Aku ingin merasakan rasa dan tekstur kulitnya, hangat tubuhnya, aroma
khasnya, seluruhnya. Tapi yang kami miliki hanya ini.
Sebuah
ciuman terakhir saat senja kala. Ciuman saat langit berwarna jingga. Ciuman
bersama lembayung senja. Ciuman pengganti ucapan selamat tinggal,
sebelum
kembali pada suami kami masing-masing…
keren nil... ini tentang kasih gak sampai lo buat gue ya nil...
ReplyDelete