Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

17 September, 2013

Saat Senja

Sudah lama kami tidak ke sini. Tempat ini masih sama. Hembusan angin yang sama, bau asin yang sama, bahkan warna langit yang sama. Pasir basah dan sedikit runcing karang membuat kami harus berjalan dengan perlahan. Kami telah melepas sepatu kami sejak turun ke pantai ini. Aku selalu menyukai tempat ini, menyukai keterasingannya, menyukai deburan ombaknya, dan menyukai kesunyiannya yang sekarang semakin tak bertahan lama. Dulu rasanya, sudut pantai ini hanya milik kami berdua.

Dia menggenggam tanganku, dan aku mendongak menatapnya. Helaian rambutnya yang tertiup angin membuat tanganku secara otomatis ingin terangkat untuk merapikannya. Tapi senyumnya, tatapan matanya, dan genggaman tangannya, menahanku. Aku hanya ingin meresapi saat ini. Merasakan kehadirannya di sampingku. Membiarkan tangannya menggenggam tanganku, dan merasakan semilir angin yang perlahan membawa bau tubuhnya kepadaku.

Tempat ini dan dia, semuanya terasa sempurna.

Mungkin aku harusnya mengatakan sesuatu. Mungkin aku seharusnya tidak membiarkan sunyi ini terlalu berlarut-larut, tapi seolah tak ada lagi yang tersisa. Aku dan dia, kami memahami dalam diam. Aku dan dia, kami sudah saling mengenal setiap incinya dari tubuh kami masing-masing, setiap mimik, setiap senyuman, setiap kerutan, dan bahkan setiap kerlingan. Aku dulu tak pernah menyangka, bahwa hilangnya misteri bisa menjadi sesuatu yang memabukkan. Aku dulu selalu berpikir bahwa harusnya selalu ada satu bagian kecil yang kami sembunyikan, sesuatu yang kami sisakan hanya untuk diri kami sendiri, sesuatu yang menjadi milik kami pribadi tanpa perlu kami bagi. Bahwa sedikit misteri akan membuat segalanya terjaga, sedikit misteri akan membuatnya tetap baik-baik saja. Tapi apalah yang aku tahu.
Matahari semakin turun, sinarnya mulai berganti jingga. Sebentar lagi lembayung akan memenuhi langit. Biasanya kami akan duduk di sini, menatap matahari sampai dia akhirnya undur diri. Membiarkan langit berganti gelap, menunggu munculnya bintang, dan mencoba bertahan sampai akhirnya angin malam mengusir kami.

Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang istimewa ketika langit dikuasai jingga. Ada sesuatu yang agung, sesuatu yang tidak tergantikan. Sesuatu yang membuat apa yang akan kami lakukan terasa benar. Membuatnya bisa sedikit lebih dipahami.

Tanpa sadar, genggaman tanganku mengencang, dan dia menoleh menatapku. Dia mengangkat sebelah tangannya untuk mengelus pipiku. Merasakan panas yang menguar dari tubuhku. Aku mencintainya, aku sangat mencintainya.

Aku merengkuh tubuhnya, membiarkan tangannya melingkari tubuhku, dan mendekapku erat. Sekali ini saja, sekali ini lagi. Tangannya kembali menangkup pipiku, dan aku memejamkan mata. Membiarkan bibirnya yang hangat membelai sudut bibirku, membiarkannya membelai tubuhku. Aku hanya ingin saat ini. Saat ketika napasnya yang hangat berhembus di wajahku. Saat ketika bibirnya memagut bibirku. Saat ketika tubuh kami saling mendekap tanpa menyisakan celah walau hanya untuk semilir angin.

Aku ingin merobek bajunya, dan memagut bibirnya. Aku ingin menelanjangi tubuhnya, dan mencicipi setiap jengkal kulitnya. Aku ingin merasakan rasa dan tekstur kulitnya, hangat tubuhnya, aroma khasnya, seluruhnya. Tapi yang kami miliki hanya ini.

Sebuah ciuman terakhir saat senja kala. Ciuman saat langit berwarna jingga. Ciuman bersama lembayung senja. Ciuman pengganti ucapan selamat tinggal,


sebelum kembali pada suami kami masing-masing…

1 comment:

  1. keren nil... ini tentang kasih gak sampai lo buat gue ya nil...

    ReplyDelete