Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

20 March, 2009

pencarian obsesi

Pagi ini, aku tahu aku tertipu. kemarin orang itu sudah memberi peringatan. Dia bilang aku harus tahu hal yang sebenernya akan terjadi. Dia memberikan aku perincian yang sebenar-benarnya. Tapi sial, aku akhirnya terkelabui juga. sekarang, aku benar-benar merasa terbodohi. Mereka pasti tertawa di hadapanku tanpa kuketahui. Mereka pikir mereka pintar. mereka selalu menginginkan lebih. Aku tahu meminta yang lebih itu tidak salah. Kita kan manusia. Kita dianugrahi perasaan haus dan lapar setiap saat. Tapi, mereka berlebihan. Aku sebal. Aku merasa bodoh.

Aku bosan. Setengah jam sudah aku menunggu. mereka belum selesai juga. Kapan mereka berhenti mengelabuiku? Aku tahu apa yang mereka lakukan. Sebelum hari ini, mereka pernah bilang tidak bisa kepadaku. Mereka langsung mengatakannya dengan yakin. Aku menanyakan ulang, mereka bilang tidak bisa, tetap tidak bisa. Saat itu aku ragu, aku tahu ada yang salah. Namun, aku teryakini. Aku menerima pernyataan itu. Aku hidup dengan pernyataan itu. Pernyataan yang membuat aku tidak berkutik. Aku tidak jadi melakukan perubahan. Aku harus menanti lagi dengan was-was.

Baru dua hari yang lalu aku akhirnya tahu yang sebenarnya. Teman dari temanku memberikan informasi. Dia bilang, sebenernya hal itu bisa terjadi. Dia dengan yakin sekali memberitahu. Dia sampai menampik pernyataan mereka dengan tahi sapi. Dia bilang, mereka bohong. Sialan. Lalu, akhirnya aku mencari informasi lebih. Untuk meyakinkan aku. Aku mencari orang yang dapat membantuku membongkar kebohongan itu. Lalu, aku terhubung dengan orang itu, sang informan.

"Tolong saya, man," aku memohon. Dia menyambutku dengan baik. Aku bilang aku tahu tentang dia dari temannya temanku. Aku ceritakan semuanya yang terjadi. Aku memberitahu dia kebohongan yang aku dapati. Aku beritahukan hal-hal yang janggal. Dia mendengarkan dan dengan segera dia menolongku. Dia mengajariku bagaimana harus menyikapi kebohongan itu. Dia mendampingiku mengkonfirmasi ke pihak yang berwajib. Bahkan, dia memberitahu bahwa aku harus menemui orang-orang yang mendukung dan menutupi kebohongan mereka. Akhirnya, aku tahu.

Lalu, aku segera menemui orang-orang yang melindungi mereka. Aku menginginkan konfrontasi. Aku datang dengan waspada. Aku menghampiri orang-orang itu dengan yakin. Aku yakin mereka akan bisa membantuku. Orang-orang itulah yang bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Orang-orang itulah yang bisa melegalkan kebohongan mereka. Aku senang, akhirnya aku bisa terselamatkan. Aku akhirnya bisa melihat garis-garis perak di awan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bangsat, orang-orang itu tidak bisa membantu! Orang-orang itu tahu apa yang terjadi. Orang-orang itu tahu bagaimana menyelesaikan masalahnya. Orang-orang itu...orang-orang itu...orang-orang itu...Ah, tahi sapi! Orang-orang itu memerintah aku untuk menemui saja mereka langsung. Merekalah yang harus bertanggung jawab akan perbuatan mereka sendiri. Sial. Aku sudah jauh-jauh datang meminta bantuan. Tapi, sekali lagi, aku terhempas dengan kesia-siaan.

Aku harus bagaimana? Apakah aku sekali lagi harus menelan pil pahit ini sendiri? Akan sangat bagus jika pil pahit ini bias membuatku sehat dan bugar. Tetapi tidak, pil pahit ini memang hanya berguna untuk memahitkan kehidupanku. Ah, hidupku terasa begitu pahit…Kapan aku bisa merasakan manis yang sebenar-benarnya? Aku harus menahan diri sekali lagi. Semua hal yang terjadi sekarang adalah bukan kesalahanku. Atau memang ini benar aku yang mengakibatkannya?

Saat ini ada kesunyian malam, kekosongan ruang, kegelapan benak, kehampaan raga, dan kehausan jiwa. Semua ini harus kujalani sendiri. Orang-orang tidak bertanggung jawab itu pasti sedang menikmati kesenangan mereka di atas penderitaanku. Ah, aku ingin sekali melihat nyawa mereka meregang di depan mataku. Aku ingin mereka dengan perlahan merasaka pedih yang aku rasakan. Kalau saja mereka tidak melakukan hal itu, mereka pasti akan baik-baik saja. Tapi sekarang, jangan harap mereka akan bisa hidup dengan tenang. Aku akan memburu mereka.

Pisau, tali, minyak tanah, kayu, panah, korek api, kain bekas, dan plastik besar telah kusiapkan. Perincian detik, menit, jam, hari pun telah tersedia di kepalaku. Aku sudah menguatkan hatiku. Aku telah meyakinkan kepalaku. Aku sudah meminta bantuan, Kawan-kawanku akan segera datang, Mereka sedang dalam perjalanan membelikan aku sesuatu. Aku sudah menanyakan apa yang mereka beli; tetapi mereka tidak mau menjawab. Mereka bilang, hal ini pasti sangat berguna untuk rencanamu. “Tenang saja,”kata salah satu kawanku itu. “Hah! Bagaimana aku bisa tenang?!” aku menghardiknya. Setelah aku bilang begitu dia mengatakan sesuatu yang membuat aku terdiam. “Kau benar-benar mau melakukan ini, bukan? Tenang saja kami, kawanmu, mendukung sepenuhnya yang akan kaulakukan. Jadi, tenang saja.”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mereka datang! Mereka datang!

“Hai, manis.”
“Hai, kawan-kawan.”
“Kami membawa sesuatu untukmu.”
“Iya, apa itu? Cepat berikan padaku!”
“Ets, tidak secepat itu. Kami mau meyakinkan kamu dulu. Kamu tetap akan melakukan yang kamu rencanakan, bukan?”
“Ah, tentu saja! Kalian jadi membantuku, kan?”
“Nah, itu dia masalahnya. Kami merencanakan sesuatu yang lain. Maka dari itu kami bawakan ini untukmu.”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Ah, benar yang ini! Benar! Kawan-kawan, terima kasih ya! Aku sudah lama sekali menunggu-nunggu hal ini. Aku sudah berjuang mati-matian untuk mendapatkan ini. Aku malah sudah mempersiapkan alat-alat yang dapat kugunakan untuk bisa menikmati ini. Terima kasih kawan. Aku terharu sekali. Aku sampai tidak dapat berkata apa-apa. Kalian tahu kan bagaimana perjuangan ku kesana dan kemari untuk mendapatkan hakku ini? Orang-orang yang memisahkan aku dari ini sudah aku benci setengah mati. Orang-orang yang bilang tidak ada harapan untuk menemukan ini pun sudah aku maki. Mereka yang membiarkan aku menunggu tanpa tahu apa yang terjadi juga sudah aku kutuk. Sekarang, ah, untung saja aku punya teman seperti kalian.”

“Iya, iya sudah jangan banyak bicara, habiskan saja daging kambing special itu. Kami sudah susah payah menangkapnya untukmu. Kami membantumu dengan tulus karena kami tahu bagaimana kau sudah membesarkan anak kambing itu untuk kamu hidangkan. Kami tahu orang yang mencuri kambingmu. Sekarang silahkan dinikmati makanannya. Itu masakan hasil koki terbaik hanya untukmu yang telah berjuang mati-matian mendapatkan hakmu. Jadi kamu tidak perlu memburu kambing baru lagi, simpan saja alat-alat itu. Bagaimana, enak bukan?”


“Enak tuenan, kawan. Terima kasih.”

5 comments:

  1. nand, ini teh bukan cerpen yang di deadline-in sindro ya?
    beda lagi kan?
    s
    s

    ReplyDelete
  2. gue ga tau tuh yang ada deadline2 gicu.
    s

    ReplyDelete
  3. hahahahahhahhahhahahahhhahahahhaha... sumpahhhhh kambiiiiinnnngggggggg. ...jadi laper...

    ReplyDelete
  4. kambing guling kayaknya enak yaa. hmmm :-$

    ReplyDelete
  5. huuu. rindu kambiiing!!

    ReplyDelete