Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

19 February, 2009

Eulogy

“Mau kuajarkan sulap?” Tiba-tiba suaranya datang dari balik pintu kamar yang setengah terbuka. Tak lama kemudian dia keluar dari kamar untuk berdiri menutupi televisi yang sedang kutonton. Kubetulkan posisi dudukku untuk melihat dirinya lebih baik.

“Akan kuperlihatkan padamu sesuatu yang ajaib,” ujarnya.

Otak 8 tahunku itu langsung terkesiap. Aku belum pernah melihat sesuatu yang ajaib. Apa yang akan ditunjukkannya? Seekor kelinci bertanduk rusa? Sebuah rumah yang terbuat dari awan? Sebuah kue yang tak habis-habis dimakan?

Lalu diangkatnya tangan kanannya. Di antara jari telunjuk dan tengahnya ada sebuah bola ping-pong.

“Bola?”


“Bukan bola sembarangan. Bola ajaib. Lihat,” dia angkat lagi tangan kanannya. Dia pastikan aku memperhatikan dengan seksama.

Dengan satu gerakan kecil, dia buang bola ping-pong itu dari tangannya. Ctak! Memantul bola itu ke lantai rumah. Tapi aneh, ketika kulihat tangannya, sudah ada bola lagi di sana. Aku tak habis pikir darimana datangnya bola kedua itu.

“Sudah kubilang kan, bola ini bola ajaib,” katanya. Lalu dia buang lagi bola di tangannya. Dan seperti yang terjadi sebelumnya, muncul sebuah bola lagi di tangannya. Seakan-akan bola-bola itu tumbuh di tangannya tanpa henti. Aku terkagum-kagum, hanya bisa tertawa-tawa kegirangan, melonjak-lonjak meminta sihirnya.

“Jam berapa ayah dan ibumu pulang,” tanyanya.

Setahuku masih malam.

“PR-mu sudah kau kerjakan,” tanyanya lagi.

PR-ku selalu kukerjakan sebelum menonton televisi.

“Kalau begitu, duduk di sampingku. Akan kuajarkan caranya,” ujarnya sambil beranjak ke kursi tua kesukaannya.

Sudah 16 tahun sejak saat itu. Bertambah tahun, bertambah pula umurnya. Kedatangannya tak sering lagi. Dia lebih suka di rumahnya sendiri sekarang. Perjalanan pendek sudah menjadi terlalu jauh untuk ditempuh.

Setengah tahun yang lalu aku duduk di sampingnya. Dia yang meminta. Tanganku dimintanya pula, maka kuletakkan tangan kiriku di dalam genggaman tangan kanannya. Kami sama-sama diam, menikmati suasana di tengah ruangan yang penuh orang dengan segala keriuhan. Entah karena apa tiba-tiba aku menoleh ke arahnya.

Dia menatapku kembali lalu mengingatkan, “dulu kau sempat kuajarkan sulap.”

Dan aku membalasnya dengan sebuah anggukan kecil dan senyuman. “Iya, pakai bola ping-pong,” jawabku.

Sambil setengah terbatuk dia mempererat genggaman tangannya. Kubalas genggamannya. Dia mengangguk-angguk. Kami diam kembali mengamati ruangan yang penuh orang dan keriuhan.

Dua minggu setelah itu aku kembali di sini.

Enam bulan kemudian, layaknya seorang pesulap, tirai panggung miliknya sedang disiapkan untuk ditutup. Sebentar lagi lampu sorotnya dimatikan, jas panjang hitamnya siap digantung. Hadirin bangun berdiri memberikan tepuk tangan untuk terakhir kalinya.


Aku masih di sini.








PS. time to rest, grandpa :'(

No comments:

Post a Comment