Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

03 May, 2008

Everything Ours

note: uhuhu. sort of getting my feet back wet again, geng. jadinya agak putus di sana-sini deh ni cerita. tapi tetep bisa berubah2... hihihi, palingan diedit2 mulu. anyhoo... kalian nulis lagi dong!! ih gila.

“Gue tau sekarang, gue mimpi apa tadi malem,” ujarku.

“Hah? Apaan?”

“GUE TAU SEKARANG GUE MIMPI APA!” Ulangku sambil berteriak.

“Oh. Ya nggak usah teriak-teriak, kali. Udah malem,” ujarnya di tengah dribble-an bola basketnya.

“Yeee… Lagian elo budek,” sahutku menimpali. Dia hanya tersenyum kecil mengejek kemudian meneruskan latihan under the basket-nya.

Hari ini hari Rabu. Dan seperti biasa, tiap Rabu malam aku akan menemaninya di sini. Di sebuah lapangan basket di tengah-tengah kompleks perumahan kami. Dia latihan, aku ngoceh sendirian. Dia berlari-lari, aku duduk di tengah-tengah lingkaran tengah lapangan itu. Seperti sekarang, seperti Rabu-rabu lainnya selama bertahun-tahun.

“Kok diem aja sih? Elo nggak mau tau, mimpi gue apaan?” Tanyaku.

“Nggak.” Jawabnya dengan enteng.

“Kok gitu sih lo? Timbal balik dong. Gue nemenin elo di sini, elo dengerin gue, dong!” Timpalku kesal.

“Gue bercandaaa... Elo kenapa sih, sensi banget malam ini?” Kali ini dia berhenti berlari dan berdiri di depanku, membawa bolanya di satu tangan. Dia teruskan lagi, “kalau elo udah bosen, bilang aja. Nggak apa, kok. Kita pulang aja.”

“Gue nggak sensi kok. Siapa yang sensi?” tanyaku ketus.

“Ya udah, tuan putri. Jangan marah-marah. Gue janji dengerin elo, but give me just 15 minutes more. Ya?”

Ten.”

Twelve.

Fine. Twelve. Beneran ya!”

“Iya. Beneran. 6 minutes for layups, 6 minutes brushing up my three points. Abis itu, latihannya gue tutup seperti biasa. Oke?” Sambil bertanya, dia miringkan sedikit kepalanya ke kanan. Kebiasaannya kalau meminta persetujuan dariku. Kebalikannya, aku memiringkan kepalaku ke kiri kalau meminta persetujuan dari orang lain.

“Oke.”

“Sip. Tunggu di sini ya,” dia berlari ke arah ring di depanku untuk melanjutkan latihannya. Aku ragu dia sempat mendengar balasanku, “kayak gue bakal ke mana-mana lagi aja.”

Bara namanya. Teman kecilku sejak… ah, aku bahkan tidak ingat lagi. Rumahnya tepat di seberang rumahku; dan menurut cerita dan foto-foto di album, kedua ibu kami selalu janjian di depan rumah, menyuapi kami yang masih bayi. Waktu kami sudah agak besar, janji makan bersama ditambah dengan janji main bersama di rumah Bara. Kata mamaku, Bara yang baru bisa jalan (umurnya denganku beda sekitar 3 bulan. Dia lebih tua.), akan tertatih-tatih melangkah ke peti mainannya, dan mengambilkan salah satu mainan favoritnya untukku. Kalau aku tak suka, maka olehnya diambilkan lagi yang lain. Begitu terus sampai aku mau bermain dengan mainannya. Sebaliknya, kalau kebetulan waktunya bermain di rumahku, Bara tak pernah menolak mainan apapun yang kuambilkan untuknya dari petiku. Manis.

Sesuai dengan namanya, Bara seperti api. Meletup-letup, meledak-ledak, dan selalu antusias tentang apapun yang disodorkan kepadanya. Main basket, contohnya. Semua bermula dari hadiah ulang tahun berupa bola basket yang kuberikan untuknya waktu SD. Dan sampai sekarang, olahraga itu masih digelutinya. MVP di tim SMP, tim SMA, bahkan di tim kompleks.

“Gi, liat gue dong! Barusan gue 3-point 4 kali berturut-turut pas lo lagi ga liat!” tiba-tiba suara Bara memanggilku. Aku menengok ke arahnya. Dia berkacak pinggang, sebal karena aku tak memperhatikannya. “Gimana sih lo? Bukannya ngeliatin gue malah nunduk ngeliatin lantai. Emangnya ada yang bisa 3-point di sana?” Aku tersenyum geli, kadang-kadang sifat anak kecil (narsis?) nya membuatku gemas.

“Iyeeeee... Kok gantian elo yang sensi.”

“Liat, dong! Tinggal 2 menit lagi terus gue dengerin elo.”

“Iya, iya. Gue liatin, iyaa.”

Setelah kalimatku selesai, dia membalikkan badannya kembali menghadap ring, dan aku hanya bisa menatap punggungnya. Beribu-ribu kali selama bertahun-tahun, aku selalu mengaguminya dari belakang, dan diam-diam.

Bara tinggi. Tinggi sekali. Tingginya tidak biasa untuk ukuran anak SMA. Memang, kakek buyut Bara orang Romania asli. Tetapi mamanya Bara, serta sepupu-sepupunya, tidak ada yang mewarisi gen itu sama sekali sehingga di foto-foto keluarganya, Bara selalu terlihat paling menonjol. Punggung yang lebar dan kaki panjangnya mungkin sumbangan sepersekian gen Romanianya itu. Itu sebabnya Bara merupakan aset untuk tim-tim Basket yang pernah merekrutnya. Aku tak heran kalau nanti dia ditarik ke liga nasional.

Waktu 12 menit sudah selesai dan sekarang, seperti biasa, Bara mengakhiri latihannya dengan berlari-lari kecil mengelilingiku menurut garis lingkaran yang tengahnya kududuki. Aku paling suka melihatnya berlari. Dengan sepasang kaki seperti itu, Bara bisa melesat dari satu ujung lapangan ke ujung lainnya. Bara. Api. Komet. Dia komet pribadiku.

“Jadi, mimpi lo apa?” tanyanya sambil berlari. “Ini mimpi yang tadi siang elo mau cerita tapi elo lupa kan?” Sambungnya lagi.

“Iya.”

“Gimana, gimana? Coba, ceritain ke gue.”

“Mimpinya konyol sih, Bar. Nggak jadi deh,” aku mengurungkan niat.

“Eh. Sial! Nggak bisa! Latihan gue udah gue perpendek, masa’ elo mau nggantungin gue?” Dia berhenti berlari dan berkacak pinggang.

Aku sedikit menyesal telah memaksanya untuk mendengarkan cerita tentang mimpiku ini. Bagaimana tidak? Setelah kupikir-pikir, cerita mimpi ini akan membuka semua rahasia yang sudah lama kusimpan: kalau aku sayang sekali padanya. Lebih dari yang dia tahu, lebih dari yang aku tahu. Dapat bisikan setan darimana aku barusan?

“Cerita! Ayo, cepetan! Ayolaaaahh…” dia mendesakku lagi, kali ini berjongkok di hadapanku. “Elo takut apa sih?”

Banyak. Aku takut 16 tahun terakhir ini hilang begitu saja. Takut dia pergi. Takut Bara takut. Takut semuanya. Tapi akhirnya kubuka juga mulutku.

“Jadi mimpi gue gini…” dia meneruskan lari-lari kecilnya. “Gue sama elo lagi jalan-jalan bareng di tengah Tokyo.”

Tokyo?” tanyanya heran. “Kita aja belom pernah ada yang ke Tokyo. Kok elo mimpinya canggih?”

“Jangan komentar dulu dong. Elo mau gue ceritain nggak sih?”

“Eh, iya. Ampun, ampun. Terus?”

“Jadi kita di Tokyo. Gue sama elo. Tiba-tiba datanglah manajer tim elo dan kita jadinya jalan bertiga.”

“Shana? Kok tiba-tiba ada dia?”

“Nggak tau. Ya namanya juga mimpi. Anyway, terus kita jalan bertiga kan… Tapi gue selalu ditinggal sendirian. Kadang gue di depan, kalian ngobrol di belakang gue. Kadang gue di belakang, kalian jalan di depan gue. Begitu terus.”

“Mimpi lo aneh. Terus?” Bara sudah selesai berlari-lari. Lebih sebentar dari biasanya. Aku tahu dia mulai penasaran tentang mimpi itu. Kali ini dia bertanya sambil bergerak duduk di sampingku.

“Iya, aneh banget. Terus, gue ajak kalian berhenti sebentar karena ada soda machine di pojokan jalan gitu.”

Oh, your fascination on vending machines, eh?” tanyanya menggodaku. Dia sudah hafal kebiasaanku mendatangi vending machines, apapun produknya.

Yeah. You know I’m a sucker for those things,” ujarku tersenyum.

That, I do know.”

Anyway, Bar… pas gue udah selesai ngambil sodanya, elo udah nggak ada di deket gue. Elo udah jalan duluan sama si Shana.”

“Kok gitu? Gue kan selalu nungguin elo.”

I know!!! Mangkanya itu, terus di mimpi gue, gue tuh heboh banget nyariin kalian. Kok tiba-tiba ilang entah ke mana. Nah, terus gue cari-cari kalian muter-muter sampe capek, tiba-tiba gue udah pindah tempat lagi.”

“Ke?” tanya Bara.

“Ke ruang tamu di rumah gue! Jadi gue buka pintu, tapi sebelum pintunya kebuka lebar, gue denger suara kalian lagi ngobrol. Eh… suara Shana doang sih sebenernya. Elo belum bersuara.”

“Ngomong apa si Shana di mimpi lo?” Tanya Bara tak sabar.

“Ng… Elo inget nggak dulu pas SMP dia pernah nembak elo?”

“Ya inget lah. Masa’ gue lupa? Gue kaget banget gitu. Saking kagetnya gue sampe diem aja, nggak jawab apa-apa. Tapi apa hubungannya sama mimpi lo, Gi?”

Aku diam sejenak. Meneruskan pembicaraan ini berarti menjerumuskan diriku sendiri. “Gitu deh pokoknya,” akhirnya hanya kata-kata itu yang keluar.

“Gitu deh gimana? Elo nih, nggak tuntas bener ceritanya. Terusin dong, neng! We tell everything, kan? Or has that changed now cuma gara-gara gue ninggalin elo di mimpi?”

Aku diam lagi. Ada suara-suara yang muncul entah dari mana di kepalaku. Semuanya bercampur aduk, ribut sendiri. Ada yang menyuruhku diam, ada yang menyuruhku lanjut bicara, menjerumuskanku. Yang kedua menang.

“Bukan gitu, Bar… Ya udah. Gue lanjutin. Di mimpi gue,” aku menarik nafas dan berbicara lagi, “dari balik pintu gue denger Shana nembak elo lagi. Dan kali ini elo nggak cuma diem,” kulihat matanya.

“Gue ngomong apa?”

“Gue lupa kata-kata elo, tapi pokoknya elo nerima ajakannya buat jadian.”

“Serius lo? Gue terima?” Tanyanya kaget.

Aku memandang heran ke arahnya, “kaget lo berlebihan.”

Dia memandang heran ke arahku, “berlebihan gimana?”

“Cerita gue kan biasa aja. Lagian, itu kan bukannya nggak mungkin,” jawabku.

“Terus, mimpi lo abis itu gimana?”

“Abis itu gue kebangun...”

Dia terdiam sebentar. Aku juga, menunggu reaksinya.

“Elo tau nggak,” akhirnya Bara membuka mulutnya, “tadi siang Shana emang nembak gue lagi di sekolah. Tapi gue belom sempet cerita ke elo,” ujarnya sambil memutar-mutar bola basket di atas jari telunjuknya, santai. Sedangkan aku kaget bukan main.

“Serius lo?!”

“Kaget lo berlebihan,” katanya. “Kesannya nggak mungkin banget si Shana masih suka sama gue. Emang gue sejelek itu apa, Gi?”

“Iya,” nggak sama sekali, Bar. “Terus, elo terima?” aku menahan nafasku, bersiap-siap mendengar jawaban Bara.

“Menurut lo?” tanyanya kembali padaku, “gue terima apa enggak?”

“Belum elo jawab?” aku merasa sedikit lega.

“Ya belum. Tapi menurut mimpi elo kan, gue jawab iya. Jadi… apa gue jawab iya aja ya?” tanyanya padaku.

Mendengar kalimatnya barusan, spontan aku memegang tangannya dan berkata, “jangan ikutin mimpi gue.” Bara melihat ke arah tangannya, lalu ke tanganku, lalu kedua mataku. Kemudian, tersadar akan apa yang baru saja kulakukan, aku menarik tanganku lagi. Bara masih menatapku. Dia bertanya, “waktu elo kebangun tadi pagi dari mimpi lo, rasanya apa?”

Aku berusaha menjawab sewajar mungkin, “rasanya males bangun. Pengen tidur lagi! Gue—“

“Gi. Serius, gue,” potong Bara. “Pas elo kebangun tadi pagi, elo mikir apa?”

Kutanya padanya, "elo mau gue jujur?"

"Sejujur-jujurnya," jawab Bara.

Agak lama aku terdiam, memikirkan apa yang harus kukatakan. Tapi jawaban yang tepat tidak kutemukan. Apapun yang keluar dari mulut ini akan membongkar semuanya; bahwa aku sayang Bara lebih dari yang selama ini dia tahu. Tapi setan itu masih ada, dan akhirnya aku menurutinya. Kuputuskan bahwa malam ini, apa yang terjadi, terjadilah.

“Tadi pagi waktu bangun,” susah payah kukeluarkan suara parau, “gue langsung mikir kalo gue nggak pengen elo tinggalin.” Akhirnya keluar juga.

“Kapan gue pernah ninggalin elo?” tanya Bara. “Dari kecil kita udah barengan terus, Gi. Masa’ iya gue tinggalin elo sekarang?”

“Di mimpi gue, elo ninggalin gue kan?”

“Tapi masa’ iya elo percaya sama mimpi itu?” Bara menarik nafas panjang, “Terus… maksud elo, pas elo di vending machine… atau maksud lo pas gue nerima Shana?”

“Dua-duanya,” jawabku pelan sambil menunduk, memilin-milin tali sepatuku.

“Yah… gimana ya? Emang susah jadi cowok ganteng, banyak tuntutan sana-sini. Elo nggak mau gue tinggal, Shana nggak bisa ngelepas gue.” kata Bara bercanda. “Susah ba—“

“Bar,” potongku sambil menengok ke arahnya. Aku tak tahan lagi, “don’t joke. I’m putting everything on the line here, so please, don’t joke. You wanted me to be honest, and here is me, being honest.

Dia diam, mempersilahkanku untuk bicara, “what exactly are you putting at risk, Gi? Tell me.”

I just said, ‘everything’, Bar. Semuanya. Semua yang udah ada 16 tahun terakhir ini sejak memori pertama gue. Semua album-album foto kita di rumah. Semua mainan dan kado yang pernah elo kasih ke gue. Semua mainan dan kado yang pernah gue kasih ke elo. Bola basket Hornets yang gue kasih waktu elo ulang tahun ke-9 yang bikin elo gila basket sampe sekarang. Cerita-cerita mama dan tante tentang kita berdua. Semuanya,” jawabku dalam 1 tarikan nafas saja. Suara-suara itu semakin ribut. Ada rasa sesak di tengah tarikan-tarikan nafasku yang semakin pendek-pendek.

Would you believe me if I said that I love you?” tiba-tiba aku mendengar suaraku sendiri bertanya kepada Bara.

Itu dia. Gongnya.

I would, and I’d say I love you too, Gi,” katanya enteng.

I’m not just talking about a mutual caring feeling here, Bar. Yang jelas bukan yang elo rasain ke gue,” tukasku. “But there. I’ve said it.”

“Dan elo mengharapkan reaksi apa dari gue?” tanya Bara datar.

“Nggak tau. Anything. Apapun boleh. Tapi jangan diem. But if you don’t feel the same, lie to me. Gue nggak pengen tau sekarang. Biar gue tau sendiri aja waktu elo jadian sama Shana. Dan kalau ini bakal bikin kita berubah dan jauh, lupain aja,” jawabku dengan suara yang semakin lama semakin pelan.

“Elo tuh payah ya? Elo sadar nggak, waktu elo bilang you’re risking everything, that ‘everything’ isn’t just yours. It’s mine, too. It’s ours. Elo kira gue mau buang semua itu? Elo lebih milih untuk percaya mimpi lo daripada percaya kata-kata gue? Gue bingung harus ngomong apalagi, Gi,” ujarnya. ”Didn’t i say i love you too? What makes you say gue bakal jadian sama Shana? What makes you say kita bakal berubah, jadi jauh?”

Aku terdiam. Dia benar. Semua yang kusebutkan tadi memang milik kita berdua, bukan punyaku saja.

”Jadi maksud elo ngomong ini semua, apa? Bukannya untuk denger kata-kata yang sama dari gue, Gi? But you’re so sure of yourself, and suddenly kata-kata gue ga ada artinya buat elo?” Pertanyaan Bara datang bertubi-tubi. Aku masih diam.

”This isn’t just some lie I tell you so you’d feel better, Gi,” katanya lagi setelah ikut diam beberapa lama. Gue nggak ngira gue bakal harus ngejelasin semuanya ke elo... Tapi I’ll tell you something I’ve never told anyone else. Are you game?”

Aku mengangguk, mempersilahkannya bicara, "I'm game."

“Elo tau nama panjang gue?” tanya Bara padaku.

Aku mengernyitkan dahi karena pertanyaan Bara terdengar aneh di telingaku, “tau lah. Ya masa’ gue nggak tau nama panjang elo?”

“Siapa?”

“Bara Mitika,” aku masih mencoba untuk memecahkan teka-teki pertanyaannya.

Setelah menghela nafas, dia bertanya lagi, “tau artinya?” Aku menggeleng. Dia bertanya lagi, “kalau nama lo? Elo tau artinya?”

“Nama gue artinya Bumi. Gia, dari Gaea. Belakangnya cuma nama keluarga gue aja.”

Bara melihatku dengan bingung sekali lagi, “tapi elo beneran nggak tau arti nama gue?”

“Kata nyokap lo, Bara artinya ya itu… bara api.”

“Mitika?”

“Kalau bagian itu gue nggak tau sama sekali. Gue pernah cari tau, tapi nggak ketemu,” jawabku.

“Gue kasih tau, ya… Mitika itu aslinya Mitica. Diambil dari nama Romania, nama kakek buyut gue, Dumitru. Artinya*,” lalu Bara mendekat dan membisikkan arti namanya ke telingaku. Setelah itu dia menarik dirinya lagi dan memandangku tepat di mata. Aku masih kesulitan mencerna apa yang barusan ia bisikkan.

“Elo kira, kenapa gue selalu nyelesaiin latihan gue dengan lari-lari muterin elo? Karena, dari kecil gue udah tau arti nama kita. Dan sejak gue mulai latihan basket kayak gini, lingkaran tengah lapangan itu, tempat elo duduk nungguin gue latihan… itu orbit gue. Selalu. Elo bakal selalu ngeliat gue. Dari dulu sampe nanti, gue selalu balik ke elo. Terserah deh teori ilmiah apapun yang bilang kalau there is no center to this universe. Yang jelas… you’re the center of mine,” mata coklatnya menatapku. Setelah itu Bara meraih tangan kananku untuk digenggamnya.

“Pulang, yuk?”




*for reference.

No comments:

Post a Comment