Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

25 October, 2007

jendela

Hujan yang turun mulai membasahi jendela taxy yang baru saja kunaiki. Aku memandangi titik-titik air yang mengalir turun secara perlahan dan meninggalkan jejak. Sepintas terlihat seperti komet perak berekor panjang. Pantulan lampu-lampu jalan malam ini semakin memperindah jejak-jejak air hujan. Keheningan dalam mobil terasa pekat, namun anehnya membuatku merasa tenang.

Sepertinya supir taxi itu mengetahui mood-ku yang sedang tidak ingin bercakap-cakap, karena dia membiarkanku duduk tenang di kursi belakang, sehingga pikiranku bisa melanglang buana, mengembara jauh meninggalkan mobil ini.



"Aku akan pergi"katanya pelan. "Aku mendapatkan beasiswa itu, bulan depan aku berangkat" dia berdiri diam, matanya penuh keteguhan. Aku yakin walau apapun yang kukatakan tak akan mampu merubah keputusannya.

Aku hanya menunduk diam, apa semuanya harus berakhir seperti ini, kapan dia akan kembali. Dan seandainya dia memang kembali, cukup sabarkah aku untuk menunggunya?

"Aku nggak akan minta kamu menunggu. Aku nggak mau kamu menunggu..." jadi memang akan berakhir disini, batinku. Semua kebahagiaan yang aku dapat darinya akan terputus disini.

"Oh, okey..." mataku mulai basah, tapi toh, dia sudah cukup sering meliahatku menangis, so nothing's new.

"Aku ingin kamu ikut..."



"Bu, kita mau lewat tol, atau jalan biasa?" suara pengemudi taxy itu membuyarkan lamunanku. "Bu..."

"oh, maaf..." ujarku tergagap. "Kita lewat jalan biasa saja, Pak." malam ini Jakarta tidak terlalu macet, lagian aku masih ingin menikmati perjalanan ini sedikit lebih lama.

Supir itu mengarahkan taxy-nya keluar jalur masuk tol, membiarkanku kembali terhanyut. Aku kembali memandang keluar jendela. Di trotoar aku melihat sepasang muda-mudi yang sedang terlibat perdebatan seru, tangan mereka bergerak-gerak heboh, mungkin ingin menekankan maksud masing-masing.



"Proyekku sedang sibuk-sibuknya! Klien menuntut ini itu, dan kemauan mereka berubah hampir setiap 5 menit sekali. Mereka membutuhkanku di kantor malam ini, dan kamu harusnya mengerti!" dia mengibas-ngibaskan tangannya dengan tegas, seakan-akan sudah kehabisan akal menghadapiku.

"Tapi kita sudah merencanakan ini lebih dari sebulan yang lalu. Dan kamu bilang kamu akan meluangkan waktu!" aku berteriak tak mau kalah. Aku lelah selalu dinomorduakan setelah pekerjaannya.

"Hhh, aku tahu..." dia mengusap wajahnya dengan lelah. "Maafkan aku, proyek ini menyita hampir seluruh tenaga dan perhatianku." Dia berjalan mendekat dan memelukku. "Kita rencanakan lain waktu, ya..."

Aku terdiam dan menyandarkan kepala di bahunya. Seharusnya semuanya tidak berjalan seperti ini, harusnya kami melewati hari ini dengan bahagia, merayakan ulangtahun pertama perkawinan kami, harusnya kami makan malam diterangi cahaya lilin, harusnya kami menghabiskan malam ini dengan bercengkrama, mengejar waktu-waktu yang kami lewati masing-masing.

"Aku hamil..."

Aku bisa merasakan badannya menjadi kaku, tapi aku tidak berani menatap wajahnya. Kami belum berencana untuk memiliki anak, aku tidak tau dia akan bereaksi seperti apa. Bagaimana jika dia belum siap, bagaimana jika dia menyuruhku menunda kehamilan ini. Ah, tapi itu tidak mungkin, dia menyukai anak-anak, tapi...sekarang dia sedang sangat sibuk.

Dia memegang bahuku, menjauhkanku dari badannya, dan menatap mataku dalam-dalam. Ekspresinya tidak terbaca, dia memang paling jago dalam hal-hal seperti ini.

"Kamu bilang apa?" aku bisa merasakan kecemasan menjalari punggungku, ekspresinya saat itu agak menyeramkan, apakah sekarang memang bukan saat yang tepat?

"Aku hamil" aku mendengar diriku sendiri mengatakan hal itu dengan tenang, hal yang luar biasa mengingat saat itu lututku terasa lemas, dan detak jantungku sangat tidak teratur.

TIba-tiba aku merasakan badanku ditarik dengan keras, dia memelukku dengan sangat kencang, aku hampir tidak bisa bernafas.

"A..aa..," aku sedang berusaha melepaskan diri ketika kurasakan ada sesuatu yang hangat di leherku. Dia menyurukkan kepalanya dileherku, dan semakin mempererat dekapannya, jika masih mungkin. "Kamu nggak apa-apa?" aku bertanya dengan bingung, tidak yakin harus bereaksi bagaimana.

Dia hanya mengangguk, walau aku tidak yakin apa gerakan kepalanya saat itu memang berarti dia sedang mengangguk. Aku melingkarkan tanganku, dan membalas pelukannya. Aku bisa mendengar dia terisak lirih, lalu diam. Dia melonggarkan pelukannya dan mencium kepalaku. Mungkin ini artinya dia senang dengan kabar yang kusampaikan.

Dia lalu melepaskan pelukannya, memegang dahuku, dan mencium bibirku dengan cepat. "Aku akan menelfon kantor" ujarnya sebelum berlari dengan cepat ke arah telpon. Aku mendengarnya terburu-buru menekan tombol, bergerak-gerak tidak sabar, lalu berbicara dengan suara keras "Saya nggak bisa masuk datang malam ini. Saya nggak peduli... Saya akan punya anak, hahahaha..." dia tertawa dengan keras, lalu menutup telpon.


"Bu, telfonnya..." suara supir taxy itu kembali membuyarkan lamunanku. "Maaf Bu, dari tadi HP nya bunyi.." ujarnya lagi sambil menatapku dari kaca spion. Suara Frank Sinatra menyanyikan 'As Time Goes By' ternyata sudah memenuhi taxy itu tanpa aku sadari.



And when two lovers woo
They still say: "i love you"
On that you can rely
No matter what the future brings
As time goes by



"Halo" aku buru-buru mengangkat telfon, sebelum yang diseberang sana memutuskan hubungan.

"Kamu dimana? Kok daritadi nggak diangkat-angkat telponnya?"

"Maaf, aku nggak dengar. Di jalan, nggak lama lagi sampai kok"

"Oh ya sudah, hati-hati."

"Iya" dan sambungan pun terputus.


"Wijayanya dimana, Bu?" Supir taxy itu bertanya padaku. Aku memandang berkeliling, ternyata sudah tidak jauh lagi dari rumahku.

"Wijaya satu..." sahutku. Ternyata hujan sudah mulai berhenti. Walau jalanan masih basah, masih banyak air yang menetes dari pepohonan. Dari jendela yang mulai kering itu aku memandangi jalanan yang bersinar-sinar, pantulan sinar lampu pada air yang menggenang.


Aku memandang darah yang mengalir dari kedua kakiku, warna merahnya bersinar-sinar dibawah cahaya lampu. Perutku terasa sakit luar biasa, dan aku bisa merasakan gaun malamku basah oleh cairan merah yang tak berhenti mengucur itu. Aku mencoba menopang tubuhku, berpegangan pada lemari pajangan setinggi dada didekatku. Aku berusaha memanggilnya, tapi aku terlalu panik sampai-sampai tak ada suara yang keluar dari mulutku. Karena rasa sakit yang tak tertahankan badanku menjadi lemas. Aku terjatuh ke lantai, tanganku tanpa sadar menyambar semua pajangan yang tersusun rapi di atas lemari itu. Bunyi kaca dan keramik pecah terasa memekakkan telinga. Aku memandang sebuah pigura yang sudah retak, berisi foto kami sedang berpelukan berlatar matahari Kuta yang sedang terbenam, lalu semuanya hitam.

"Bagaimana bayi kita?" aku memegang tangannya, mencoba mencari kekuatan disana. Dua hari aku tak sadarkan diri.

Dia hanya menatapku, sorot kesedihan memenuhi matanya. Kurasa aku tak perlu bertanya lagi, jawaban yang kucari terpampang jelas disana.

"Kita masih bisa mencoba lagi kan?" kudengar suaraku bergetar. Aku takut bagaimana jika tak ada kesempatan kedua yang tersisa untukku, untuk kami.

Dia bangkit dari duduknya, membenarkan posisi bantal, dan membantuku duduk. Mengambil gelas disamping tempat tidur, lalu duduk disampingku. Dia menyelipkan tangan di balik punggungku, dan merangkulku erat. Sambil menyodorkan gelas dia berkata,

"Tentu saja, tapi nggak sekarang. Dokter bilang kita harus menunggu sampai rahim kamu sembuh. Tapi kita masih punya banyak kesempatan." Aku hanya diam, dadaku sesak. Aku mengelus perutku yang kini kutahu kosong. Dia meletakkan tangannya di atas tanganku.

"Rasanya kosong, bahkan kalau aku menyentuhnya sekarang terasa kosong..."aku terisak.

"Aku tau," ujarnya lembut sambil mengusap air mataku. "Tapi nanti, saat kamu menyentuhnya lagi, kamu akan bisa merasakan bayi kita menendang-nendang. Kita harus kuat dan sabar." dia tersenyum. Aku bersandar di bahunya, senang merasakan sesuatu yang kokoh menopangku saat ini. Kami berdiam diri entah untuk berapa lama, hanya merasakan dan menikmati kedekatan saat itu.


Sudah tiga tahun sejak kejadian itu, tiga tahun kami mencoba, dan kadang aku putus asa. Tapi untung dia selalu ada,sekuat dan setegar batu karang. Tak pernah lelah untuk mengembalikan semangatku dan cukup kuat untuk menjadi tumpuan kami berdua. Aku tersenyum tipis, membuka tasku dan mengeluarkan amplop putih yang baru kuterima hari ini. Tak sabar membayangkan reaksinya nanti.

"Sudah sampai, Bu" supir taxy itu menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah berpagar putih. Aku membuka dompet, dan membayar. Dari balik jendela aku bisa melihat sosoknya, menjulang di samping sedan yang rendah ini. Aku membuka pintu dan keluar.

"Hai," dia berkata lembut dan membantuku keluar dari mobil.

"Hai," jawabku tersenyum.

Supir taxy itu membunyikan klakson dan pergi. Dia memeluk, dan mencium ubun-ubun kepalaku.

"Kamu pergi lama sekali" aku mendengarnya berkata dari puncak kepalaku. Aku baru pergi tadi sore. Rasanya berat sekali mencoba menahan diri untuk tidak meloncat-loncat gembira. Ingin rasanya aku menari-nari, mengajaknya berdansa dibawah lampu jalan. Tapi aku harus tenang, demi merasakan tendangan-tendangan dari dalam perutku beberapa bulan dari sekarang.

Sambil tersenyum aku melepaskan diri dari pelukannya. Menatap matanya dalam-dalam dan bilang,

"Ada yang ingin aku katakan..."



It’s still the same old story
A fight for love and glory
A case of do or die
The world will always welcome lovers
As time goes by ...

No comments:

Post a Comment