Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

16 May, 2011

12 Tahun Kemudian

“Hai”
Aku mendongak, dia berdiri di hadapanku. Rambut panjangnya berkibar akibat terpaan angin. Kemeja sutra putihnya terlihat bersinar di bawah cahaya matahari dan berlatar belakang birunya laut.
“Hai,” jawabku sambil tersenyum. Aku berdiri untuk memeluknya, dan kami saling mencium pipi. Dia membalas senyumku dan mengambil kursi rotan di hadapanku. Selama beberapa menit kami hanya saling bertatapan, dengan senyum penuh semangat, tak sabar memulai percakapan dan bertukar cerita. Tidak tahu harus mulai dari mana, terlalu banyak hal untuk diceritakan, sekaligus terlalu sedikit yang sebenarnya penting. Tapi siapa peduli, selama tentang kami, apapun itu akan selalu penting.

“Tempat ini masih tetap sama,” katanya memecah kehingan yang ada di antara kami.
Aku mengangguk, “ya…” lirih.

Namanya Lissa. Aku mengenalnya sejak hari pertama kami sebagai mahasiswa. Saat itu kami berdua sama-sama merapat di dinding balairung, berusaha menghindar dari lautan mahasiswa yang memenuhi ruangan raksasa itu, sama-sama tak ingin terbawa pusaran arus. Kami saling tersenyum canggung, melemparkan obrolan kaku tentang betapa penuhnya ruangan itu. Akhirnya kami saling menunggui sampai kami sama-sama menyelesaikan urusan adiministrasi kami. Siapa sangka, ternyata kami ada di jurusan yang sama.

“Apa kabar James dan Anna?” Senyumnya merekah, dan mukanya bersinar saat mendengar nama suami dan anaknya.
“Mereka baik,” jawabnya sambil tersenyum lembut. “Anna akan masuk sekolah bulan Juli ini. Kemarin seragamnya datang, dan aku sampai harus setengah bergulat memaksanya melepas seragam itu agar bisa dicuci.” Ceritanya sambil tertawa. Aku ikut tertawa. Anna sudah akan masuk sekolah? Berapa umurnya sekarang? Kapan terakhir aku melihatnya?
“Lalu, berhasil?”
 Lissa tertawa lagi. “Nggak, akhirnya James turun tangan dan janji akan mengantarnya seminggu pertama dia sekolah asal dia mau melepas seragamnya. Dia selalu lebih nurut sama James,” kali ini senyumnya terlihat hampir sedih.
“Itu memang penyakit anak perempuan,” hiburku. Tawanya terdengar lagi.
“Ya, kurasa kamu benar. So, how’s your book? Apa kabar Awan? Are you seeing somebody?” kali ini giliranku yang tertawa mendengar pertanyaan bertubi-tubinya.
“Bulan depan akan terbit. Baik, masih bikin aku gila dengan drum-nya. And no.”
Lissa menatapku dengan tatapan penuh selidik. Aku mengibaskan tangan, bersiap mengusir isu itu.

Looking beautiful ladies,” kami berdua mendongak mendengar suara beraksen New York itu. Seorang wanita menggunakan kaftan turquoise tipis berdiri di depan meja kami. Wajahnya tertutup kacamata besar dengan bingkai coklat tua. Dengan cepat wanita menarik kursi rotan di antara aku dan Lissa, melepas kacamatanya dan tersenyum super lebar pada kami berdua.

Namanya Chandra. Aku dan Lissa bertemu dengannya di hari yang sama kami berkenalan. Saat itu sudah sore, dan kampus kami sudah sepi. Hari itu aku dan Lissa memutuskan untuk duduk di tepi danau sambil menunggu matahari terbenam, tak terburu-buru ingin beranjak dari tempat yang nantinya akan menjadi rumah kami selama, paling cepat, empat tahun ke depan. Menatap bias sinar matahari yang jatuh di danau itu untuk pertama kalinya. Dan kemudian Chandra menghampiri.
“Hey,” sapanya lantang, “kalian anak sastra inggris juga, kan?” setelah kami mengangguk, dia langsung duduk di samping kami, dan mengeluarkan kotak rokoknya. Aku dan Lissa hanya berpandangan. Sejak saat pertama kali kami mengenalnya sampai lama setelah itu, Chandra selalu berhasil membuat kami mematung dan tak tahu harus bereaksi bagaimana menghadapi ulahnya. Kami bertiga duduk di tepi danau itu sampai akhirnya matahari benar-benar terbenam dan menghilang. Sore itu kami lewati dengan berbisik pelan, saling bertukar cerita tentang masa lalu, dan juga masa kecil, yang kami tinggalkan di belakang.

Aku menatap Chandra sambil menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Dia melirikku sambil menyalakan rokoknya, lalu mengoperkannya padaku. Sama seperti hari pertama dulu, aku menerima. “What?” tanyanya sambil mengangkat alis. Ciri khas Chandra saat penasaran akan sesuatu. Aku tergelak, namun tak menjawabnya. Dia mencubit tanganku gemas, dan bertanya lagi, “kenapaa?”
“Nggak apa-apa. Cuma setiap kali aku ketemu kamu, rasanya seperti masuk ke dalam film Sex and The City!
Aku mendengar Lissa tertawa, sementara Chandra hanya menampakkan mimik acuh.
If you want to make it more real, come to New York and visit me,” jawabnya sambil menghembuskan asap putih ke udara. Melembutkan warna langit dan air yang ada di belakangnya. Aku hanya menyengir lebar, sementara Lissa setengah cemberut.
I hate New York,” katanya. Pernyataan yang sudah kami dengar ratusan kali, dan masih membuat kami tak habis pikir.
“Nggak setiap kali kamu kesana kamu bakal kecopetan, kok,” Kata-kata Chandra ini hanya membuat Lissa makin merengut.
It’s a vintage Balenciaga. Aku yakin bahkan si copet itu nggak tahu kalau tasnya lebih mahal dari semua isi di dalamnya di gabung jadi satu,”
Then wear something cheaper the next time you come. Something from GAP, atau apalah…”
“GAP is not cheap in Indonesia,” sambungku. Lissa mengangguk penuh semangat untuk mendukung omonganku. Chandra menatap kami berdua.
Hell, I don’t care girls. Just come and visit me in New York! Aku bosan dengan tempat ini dan koneksi internetnya yang buruk. Belum lagi orang-orang disini sangat slow seakan-akan mereka nggak ada kesibukan apapun. They chat while they’re lining in queue, happily!” Chandra membelalakkan matanya dengan mimik tak percaya. Aku dan Lissa tertawa melihat ekspresinya karena tahu dia akan selalu kembali ke sini.

“Aaaaaa….!!!” Aku mendengar teriakan melengking yang akan aku kenali di manapun. Seorang wanita, yang dari tempat kami duduk terlihat seperti agak gila, setengah berlari menghampiri meja kami. Tangannya terbuka lebar, bersiap untuk memeluk. Kami bertiga langsung serempak berdiri, dan menyiagakan posisi kami seolah-olah bersiap menghadapi angin topan. Wanita itu memilihku sebagai target, dan menarikku ke dalam pelukannya sehingga kepalaku dengan sukses mendarat di dadanya, yang sejak jaman kuliah dulu sudah besar. Aku berusaha melepaskan diri sebelum mati kehabisan nafas.
Damn girl…” umpatku akhirnya setelah berhasil melepaskan diri. Wanita gila itu hanya tertawa sambil berusaha untuk menarikku lagi, aku segera bergerak menjauh, membuat tawanya makin membaha. Beberapa turis lain di restoran itu mulai melirik kearah kami, dan seperti biasa, seperti sejak belasan tahun lalu, kami tak pernah peduli.

Dia yang terakhir bergabung, namanya Diva. Kami bertiga bertemu dengannya di hari pertama kami memulai perkuliahan karena dia tak pernah datang di hari orientasi kami. Berbeda dengan Chandra yang memiliki aura acuh sekaligus nekat, Diva seperti petasan yang meledak-meledak. Tubuhnya yang dari dulu selalu penuh lekuk, to put it mildly, bagaikan alat penyimpan energi yang pasokannya tidak pernah habis. Dan sama seperti Chandra, dia mengundang dirinya sendiri ke dalam kelompok tak bernama kami, dan kemudian menyegelnya dan menjadikannya eksklusif sekaligus tak bisa lepas, seperti persaudaraan darah. Agak mengerikan memang, tapi kalau tak ada Diva mungkin masa kuliah kami tak akan membuat kami tertawa setiap kami mengingatnya, seperti yang kami lakukan sekarang.

Siapa yang sangka, semangat menggebu-gebu Diva untuk selalu bergerak dan melakukan sesuatu, ditambah dengan kegilaan dan sisi nekat Chandra, bergabung menjadi campuran berbahaya yang berkali-kali membuat kami hampir gagal lulus suatu pelajaran, karena tak punya cukup waktu untuk mengerjakan tugas apapun yang diminta saat itu. Dan di situlah Lissa berperan. Lissa dengan memori fotografiknya yang sebenarnya bisa membuatnya bisa masuk ke jurusan apapun yang ada, tapi memilih masuk Sastra Inggris karena jatuh cinta pada Shakespeare, Emily Dickinson, dan J.K Rowling. Okay yang terakhir memang tidak terlalu relevan, tapi itulah alasan Lissa memilih jurusan yang sama dengan kami. Yang aku pilih hanya karena ingin membangkang dari keluarga pecinta rumus dan jurusan eksaktaku. Tapi ternyata, aku kemudian memang jatuh cinta pada jurusan itu, yang mengantarku menjadi seorang penulis seperti saat ini.

Akhirnya formasi kami lengkap. Mengisi setiap sisi meja bujur sangkar berlapis taplak putih yang kini berada di tengah kami. Diva tiada henti menghibur kami dengan berbagai ceritanya, tentang kegilaan kedua anak kembarnya yang selalu bertengkar tapi juga tak mau dipisahkan, yang dia juluki Tom and Jerry. Dia bercerita pernah mengancam kedua anak berusia 7 tahun itu akan mengganti nama mereka benar-benar menjadi Tom and Jerry kalau mereka tak juga berhenti bertengkar. Nama asli mereka adalah Orly (dari Orlando Bloom tentunya, bintang favorit Diva) dan Kimi (dari Kimi Raikkonen, pembalap favorit Rico, suaminya). Aku membiarkan diriku ikut tertawa mendengarkan cerita Diva, tapi pikiranku melayang ke hari kelulusan kami.

Hari itu kami berempat duduk di dalam kantin kampus yang sudah kosong. Cahaya matahari telah berubah warna menjadi kemerahan. Aku ingat sinarnya jatuh di satu sisi wajah kami, dan membuat kami terlihat bagai empat perempuan bertopeng yang duduk lunglai dengan kebaya kami. Lelah dan sedih karena pesta akhirnya usai. Kami tak banyak bicara hari itu, hanya saling mengoperkan rokok, berbagi kopi, dan menatap nanar ke ruangan kosong di hadapan kami. Ke masa depan yang saat itu rasanya penuh misteri, dan menakutkan. Takut akan harapan yang mungkin akan hancur, takut akan mimpi yang mungkin tak terwujud, takut harus menghadapinya seorang diri, dan takut pada kenyataan bahwa tiba waktunya kami melangkah di jalan kami masing-masing.

Tak bisa lagi saling melemparkan surat kecil saat dosen sibuk menulis di papan. Tak bisa lagi saling menendang satu sama lain menjelang fajar agar terus terjaga saat mengerjakan tugas sepanjang malam. Tak bisa lagi saling mengarang alasan untuk orangtua masing-masing agar diperbolehkan tidak pulang, atau untuk saling menjual nama saat ingin bermalam dengan siapapun pacar kami saat itu. Yeah, we watched each other’s back, karena saat itu kami berada di dunia yang bisa kami hadapi dan taklukkan bersama. Tentu saja kami saat itu punya ide gila untuk hanya melamar di kantor yang mau menerima kami berempat ibarat paket hemat, tapi, bahkan saat itu, kami tahu itu tidak mungkin. Bukan begitu cara kerja dunia dewasa yang harus kami hadapi setelah senja di kantin kosong itu berakhir.

Earth to Indira…” tiba-tiba aku tidak bisa bernafas karena Chandra menjepit hidungku dengan jarinya. Melihatku megap-megap dia hanya tertawa, tapi tetap menjepit hidungku.
“Sudah ah Chan, nanti Indi ngantuk lagi. Nggak lucu kan kalau dia ketiduran hari ini. Masa harus tunggu tahun depan buat nunggu cerita dari dia,” Lissa menarik tangan Chandra agar melepaskan hidungku. Satu hal yang aneh tentangku, setiap hidungku ditutup, aku akan langsung mengantuk.
Oh you drama queen, kita masih punya waktu seminggu di deserted island ini,” jawab Chandra sebal sambil memutar matanya. Aku memandang mereka berdua. Siapa yang sangka kedua wanita yang sekarang terlihat sangat kekanak-kanakkan ini bisa membuat laki-laki tertunduk malu di masing-masing karir yang mereka geluti.

Lissa, di usia kami sekarang sudah menjadi Profesor di kampus kami dulu, membawahi bidang studi Cultural Studies, spesialisasinya adalah cultural flow dan sejarah etnis di Indonesia. Lalu Chandra, dia banting setir menjadi fotografer, tidak main-main, dia adalah fotografer ekslusif untuk National Geographic. Butuh waktu lima tahun lebih baginya untuk beradu siku dengan para lelaki untuk berada di posisi itu, but she’s there to stay, nothing can bring her down now. Anehnya, walaupun sering ditugaskan ke daerah-daerah yang hanya dia dan Tuhan yang tahu tempatnya, Chandra yang paling tergila-gila dengan kota besar, dan memutuskan untuk berdomisili di New York. “If you go all over to world to work, to the most beautiful till most hideous places on earth, and sometimes did not interact with other human being for months, all you want after that is the crazy traffic and beautiful lights from the building that can only be provided by the big city…” jelasnya. Dan kota apalagi yang memiliki semua itu secara lengkap kalau bukan New York.

So, how’s your new book?” tanyanya sambil menyalakan sebatang rokok lagi. Pelayan datang dengan sebotol red wine yang dipesan oleh Lissa tadi.
“Bakal keluar bulan depan,” kali ini Lissa yang menjawab. Aku hanya mengangguk dari balik gelasku, menyesap rasa pahit manis dari minumanku.
“Bakal launching dimana, Ndi?” Tanya Diva sambil mengunyah french cheese yang disediakan sebagai cemilan dengan berisik.
“Salah satu tokonya Waterstone, tapi belum pasti yang dimana. Tetap di London pastinya,” jawabku.
Entah apa yang aku katakan, yang pasti hal itu membuat mata Diva berkaca-kaca.
Look at you girl,” bisiknya takjub, “tinggal di salah satu pulau terindah di dunia, and about to launch the final book of your bestseller series, not in any city, but in the city of the queen itself…” lanjutnya dengan tangan dikatupkan di atas dada.
“Bukan kota ratu lagi, it’s king now, remember?” jawabku sambil mencubit pipinya. Sama seperti energinya yang meledak-ledak, emosi Diva juga memiliki kelakukan yang sama. Dia hanya memutar bola matanya mendengar omonganku. Dia lalu tersenyum lembut, dan membiarkan sebutir air mata mengalir di pipinya sebelum menyeka cepat.
“Aku bangga sekali sama kamu. Kalau ingat kejadian dulu, rasanya seperti mukzizat melihat kamu sekarang, looking radiant, and living your dream.” Mendengar ini, aku hanya tersenyum kecil, dan mau tak mau ingatanku kembali ke tahun terkutuk itu.

Karena kami tidak hidup di dalam sitkom seperti FRIENDS atau How I Met Your Mother, jadi tentu saja ada masanya persahabatan kami merenggang. Dan tentu saja ada masa dimana keadaan kami masing-masing berjalan buruk, dan bagiku adalah tahun itu, kira-kira tujuh tahun yang lalu, lima tahun setelah kelulusan kami. Tahun itu aku menghabiskan setengah tahun waktuku di rumah sakit. Berusaha pulih dari berbagai patah tulang, dan kemudian operasi plastik untuk mengembalikan bentuk wajahku yang saat itu hancur. Bukan, bukan karena kecelakaan, tapi karena tangan, dan juga kaki seorang laki-laki yang saat itu kusebut suamiku. Ya, hidup memang tak selamanya sempurna.

Sebelum kejadian itu, hubunganku kami berempat memang merenggang. Sebagian karena suamiku yang posesif, sebagian karena karir yang harus di kejar, sebagian karena berada di kota yang berbeda, tapi yang paling besar adalah karena semakin bertambahnya perbedaan, kurangnya kesamaan. Waktu-waktu yang kami jalani masing-masing kadang berlangsung terlalu lama, sehingga saat akhirnya kami berkumpul pun kami kehilangan bahan pembicaraan. Tidak tahu harus memulai dari mana, tidak yakin yang lain masih menganggap penting cerita kami, atau untuk kasusku saat itu, tidak tahu mana yang bisa aku ceritakan, mana yang tidak. Terlalu banyak rahasia yang disembunyikan, terlalu banyak waktu yang diulur, dan terlalu banyak luka dan memar yang harus ditutupi.

Tapi semuanya berakhir tahun itu. Setidak-tidaknya ada satu hal bagus yang datang dari luka-lukaku. Malam itu aku menelpon Lissa, walau hanya untuk sepenggal kata, “tolong…” dan membiarkan telepon itu tergeletak sementara aku mendengar suaranya memanggil-manggil namaku dengan nada yang semakin lama semakin panik sebelum akhirnya kegelapan menyelimuti. Saat aku membuka mata lagi, aku ada di rumah sakit, mereka bertiga mengerumuniku, masing-masing dengan mata yang bengkak karena dipaksa memproduksi air mata terlalu banyak.

Selama 6 bulan itu, kami hampir setiap hari bersama, rasanya seperti kembali ke bangku kuliah lagi. Walau saat itu kami punya lebih banyak hal untuk diceritakan, karena kami menjalani hari yang berbeda, yah setidaknya mereka yang punya, aku hanya mendengarkan karena tak punya apa-apa untuk dibagi kecuali tentang siapa yang datang membesukku.

Setelah akhirnya aku keluar dari rumah sakit pun aku masih harus menghabiskan waktu untuk terapi, baik fisik maupun mental, dan lagi-lagi mereka ada di sana. Hidupku mungkin saat itu hancur, seperti halnya rumah tanggaku, tapi mereka bertiga ada di sana untuk membantuku membangunnya kembali dari awal. Tentu saja kami tidak bisa terus menerus bersama setiap hari seperti saat aku di rumah sakit. Aku kembali tinggal dengan orang tuaku, berusaha membangun karirku setelah beberapa tahun tak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga.

Lissa bertolak ke Belanda untuk mengambil gelar Ph.D nya, Chandra jarang berada di Jakarta, dan lebih banyak menghabiskan waktunya di seantero Indonesia mengejar objek-objek foto terbaik yang mungkin didapatnya. Dan Diva, tak mau pusing dengan segala tetek bengek karir dan pendidikan, menikahi cinta pertamanya, dan membangun rumah tangganya sendiri, yang berbahagia, yang dipenuhi cinta, tidak seperti yang pernah kujalani. Dan aku bahagia untuk mereka semua.

Walau saat itu kesuksesan mereka membuatku silau. Rasa percaya diri mereka, keyakinan mereka terhadap apa yang mereka inginkan, apa yang mereka harapkan dari masa depan mereka membuatku hilang arah. Sementara saat itu, aku merasa buta, dan buntu. Lalu aku akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Jakarta, berusaha meninggalkan mereka yang rasanya saat itu asing. Aku memilih tinggal di Bali, dan mereka secara bergantian atau bersama-sama datang mengunjungiku. Memaksakan diri masuk ke cangkang yang coba kubangun rapat-rapat, menutup mata terhadap rasa canggung dan ketakpercayadirianku. Berpura-pura tidak tahu kalau aku memang sengaja meninggalkan mereka. Memaksaku untuk menghadapi mereka bertiga, lengkap dengan aura kesuksesan mereka, dengan senyum bangga dan percaya diri mereka, dengan keyakinan terhadap kemampuan mereka untuk menaklukkan dunia. Sementara yang ingin kulakukan saat itu adalah bergelung, bersembunyi dan membiarkan dunia berputar tanpa aku terlibat di dalamnya.

Tapi lalu mereka mengancam, dengan serius, akan mengambil Awan dariku. Anakku. Satu-satunya berkah dari perkawinan dari neraka yang sempat kujalani. “He doesn’t deserve to have loser like you to be his mom…” kata-kata itu keluar dari mulut Lissa. Orang yang sama yang melempar Rey mantan suamiku dengan telepon genggamnya, yang mengancam akan membunuhnya apabila Rey pernah sedikit saja mencoba untuk mendekatiku lagi.

Dan saat itu dengan terpaksa, dengan tertatih-tatih aku bangkit. Awalnya hanya agar Awan tetap bersamaku, hanya agar bisa menjadi Ibu yang layak, tapi lalu aku mulai melakukannya untuk diriku sendiri. Karena ternyata hidupku belum berakhir. Karena ternyata aku masih punya kesempatan kedua, yang diberikan, atau lebih tepatnya dijejalkan para sahabatku tepat di mukaku. Dan ternyata semua sakit dan kegilaan yang pernah aku lewati, membuatku punya segudang hal untuk ditulis. Dan di sinilah aku sekarang. Di sinilah kami sekarang. 12 tahun setelah hari di kantin kosong itu, selalu tanggal yang sama. 12 September, dan juga seminggu setelahnya.

Kami berempat, dengan ribuan kenangan di belakang kami, pahit, manis, buruk, indah. Semuanya milik kami. Untuk kami buka sewaktu-waktu, saat kami merasa membutuhkannya. Saat kami merasa apa yang ada di depan kami terlalu berat, saat kami butuh semangat. Karena walau kini kami tak lagi tinggal di kota yang sama, bahkan negara yang sama, setiap tahun, di tanggal yang sama kami akan selalu ada di sini.

Tempat yang 7 tahun lalu kami pilih karena film Mamamia menampilkannya. Yang lalu menjadi tempatku tinggal sejak saat itu. Sebagai penjaga gawang, menanti mereka datang. Memenuhi janji yang harus selalu kami tepati, sampai kami mati.

Di Kastani Beach, kepulauan Skopelos, Yunani.

No comments:

Post a Comment