Hari ini senja, ya senja. Senja seperti biasa, tak ada yang istimewa.
Langit masih saja berwarna jingga, matahari masih saja bersinar, dan cahayanya masih saja mulai pudar.
Lalu apa bedanya senja hari ini dengan lainnya?
Tak ada sebenarnya, yah tak ada yang berbeda dengan senjanya, masih senja tua yang sama. Tapi, ada yang berbeda dengan binar dimatanya.
Matanya masih mengagumi senja, bibirnya masih terukir lembut membiaskan senyum. Tapi binar itu. Binar itu tak lagi redup seperti matahari di kala ini.
Dia duduk ditempatnya yang biasa, membiarkan angin menarik lembut rambutnya yang terurai. Dia juga masih sendirian, tapi hari ini dia tak tampak kesepian. Dia duduk dengan tenang, dan sekali-sekali membisikkan rahasia kepada angin yang setia membelainya.
Sosoknya yang ringkih sekarang terlihat lebih hidup. Siluet badannya yang tersapu bias lembayung berdiri tegak memandang hamparan bukit di depannya.
Sudah berhari-hari dia berdiri dengan posisi yang sama di tepi bukit ini. Kadang dia duduk, kadang dia berbaring, kadang dia hanya berdiri dan menatap nanar ke depan.
Pernah suatu waktu, dia merebahkan dirinya di atas hamparan rumput, membiarkan tangkai-tangkainya menyelimuti tubuhnya yang terlalu kurus. Dia meletakkan lengannya di atas kedua matanya, menghalangi sinar matahari yang cahayanya tinggal samar-samar. Dan membiarkan air matanya jatuh secara diam-diam.
Dia terus tak bergeming dalam posisi itu, sampai malam menghantarkan hitam.
Angin satu-satunya temannya. Tempat dia menumpahkan semua cerita. Dan angin menggulung rahasia itu dengan aman, tak membiarkan satu huruf pun lepas dari pusarannya. Dia terus bercerita dan bercerita, hanya diam saat air matanya menggenang. Angin mengeringkan air mata itu, dan dia pun kembali bercerita.
Semuanya tanpa suara, hanya kata yang menari-nari dalam bisikan lembut. Tak terjangkau oleh telinga siapapun.
Tapi hari-hari itu telah berlalu. Tak ada lagi air mata, tak ada lagi cerita, tapi tetap tak ada tawa. Dia tak pernah tertawa. Sampai hari ini.
Hari ini angin bertiup lebih keras, berpusar di sekelilingnya, menggulungnya dalam lingkaran yang indah. Menyentuh, membelai, menggoda. Dan akhirnya dia tertawa.
Suaranya berdenting, dan lagi-lagi angin membawanya, kali ini bukan dalam diam.
Angin membawa suara tawanya mengelilingi bukit, menyusuri kakinya, dan menyentuh lembahnya. Suara tawanya terus berdenting, mengalahkan bunyi-bunyi alam yang sedang menyambut malam. Lalu semuanya diam.
Dia menengok sedikit ke belakang, dan mengulaskan senyum. Dengan tenang, dia kembali memandang ke depan, dan melangkah maju. Maju, maju, dan maju. Sampai tanah di depannya tak lagi ada. Dan dia tetap maju, walau tak ada lagi yang menyambut langkahnya.
Lalu dia melayang, dan hilang.
22 June, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment