Dag Dag Dag...
Dag Dag Dag...
Bunyinya bedebam-debam, bagai gada raksasa sang Bima yang menghantam dada. Sakit, Berat, Menghujam, menyesikan pilu yang tak bertepi.
Dag Dag Dag...
Rasa sakit itu, beserta bunyinya yang menggema tak kunjung juga berhenti. Akan sampai kapan? Apakah bisa cukup kuat untuk bertahan. Sakit.
Gada itu terus menghantam, tak menyisakan sedikit pun tempat untuk secuil belas kasihan. Ampunan tak punya jatah disini, tak ada lagi tempat yang tersisa. Semuanya habis untuk sebuah siksaan, yang menggunakan alasan klasik, cinta.
Dia diam, terkapar,tak bergerak dan tak berdaya. Tangannya mengepal, meremas dadanya yang hancur. Matanya terpejam, bibirnya diam. Berusaha mengusir semua bayangan buruk, mencoba menciptakan imajinasi baru. Dan sedikit kekuatan untuk sebuah doa, bahwa semua ini akan berakhir. Segera.
Dia masih terbaring, dan tetap tak bergerak. Dia hanya berharap semoga pagi akan segera tiba. Matahari akan segera memancarkan cahayanya, dan membawa hari baru. Sebuah awal lagi, satu kesempatan lagi. Dan semoga saja kali ini, semuanya akan berakhir baik.
Akhirnya matanya terbuka, nyalang. Menatap malam, menantang kelam. Dia mengatur nafasnya, mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Untuk bangkit, apakah masih mungkin. Sebuah rencana sempat terbersit di pikirannya, tapi lantas dia tau, itu sama sekali bukan pilihan. Tidak untuknya, tidak untuk hidupnya.
Semuanya ada untuk dihadapi bukan? Walau mungkin tak ada lagi kekuatan yang tersisa, bahwa ternyata harapan telah terbang, membaur bersama udara, dan menghilang. Sekarang, sepertinya yang tersisa hanya keputusasaan.
Asa. Asa yang panjang, kekal, dan tak berujung.
Cukup kuatkah dia untuk menunggu pagi datang?
Dia pun akhirnya bangkit, badannya limbung, tubuhnya goyang, dan tak kokoh. Tapi bagaimanapun dia tetap berdiri.
Bibirnya menyimpulkan senyum.
Matanya memiliki tembok kaca, berfungsi menahan tangis.
Dia tak gentar, tidak sekarang, tak akan lagi.Setelah semua yang terjadi, ketakutan sama sekali bukan tandingannya.
Dia melangkah, pelan, hanya sedikit beringsut. Tapi lantas dia melangkah lagi, semakin kuat, semakin mantap.
Akhirnya terlihat juga, pemecah dari semua masalahnya. Ah, saatnya sudah dekat, hanya beberapa ketukan waktu lagi, dan semua ini akan segera pergi.
Bukan, bukan semua ini yang akan pergi, tapi dia.
Haha, dia tertawa kecil, menikmati secuil humor pahit sebelum semuanya berakhir.
Dia mengulurkan tangan, menggenggam mantap. Dan dalam sunyi, dalam gelap, dalam diam, hanya ditemani kelam, dia melakukannya.
Ah, akhirnya. Dia tersenyum, mereguk akhir yang manis.
Dia jatuh lagi, tapi kali ini tidak sakit, tidak sedikitpun.
Dia berbaring, diam tak bergerak. Senyumnya makin lama makin lebar, mulutnya terbuka, dan mengeluarkan tawa. Membahana.
Hahaha, liat siapa yang menang sekarang. Tak ada kesempatan lagi bagimu untuk menyiksa. Pikiran itu menenangkannya. Dan dengan tersenyum, dia membelai dadanya. Tempat sebuah belati perak kini bersemayam dengan agung.
Keindahan, dari sebuah akhir.
Matanya terpejam, bibirnya sedikit terbuka, dengan perlahan menghembuskan udara. Nafasnya yang terakhir.
Selamat tinggal, cinta.
04 June, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment