Copyright © lakeview creativity
Design by Dzignine

22 January, 2008

Hidup

waktu itu gue bilang mo bikin cerpen bertema sosial kan Nil? hahahah. nih, hasil nganggur.

“Pak, laper Pak. Hari ini kita makan apa?” putriku yang berumur 5,5 tahun menarik pelan jahitan samping celana panjangku.

“Sabar ya, Nduk. Bapak belum punya apa-apa. Ibumu masih sakit.” Jawabku sambil mengelus rambut tipisnya. Kemerahan. Terlalu banyak bermain panas-panasan.

“Yah, bapak. Kata bapak kemarin bapak mau cari duit? Siti kan bosen makan nasi kerak mulu, Pak.” Dia mulai ngambek... aku mulai putus asa. Sudah hampir 12 hari istriku demam. Kata Pak Mantri, dia tak tahu istriku sakit apa. Aku yang pemulung ini akhirnya hanya bisa menebus obat penurun panas. Apalagi sekarang. Musim liburan begini tak begitu banyak sampah yang bisa kukumpulkan. Semua orang kaya pergi berlibur. Tak ada sampah keluar dari rumahnya. Paling-paling satu, dua bungkus bekas mie instan.

“Ti, Siti, sini. Main sama aku,” anakku tadi dipanggil oleh kakaknya, Teguh. Dia memang lebih bisa mengerti keadaan kami. Umurnya 11 tahun. Seharusnya SD kelas 5, tapi kupaksa berhenti tahun lalu karena aku tak punya uang. Aku sedih bukan main ketika dia hanya mengangguk saja saat aku menjelaskan kesulitanku menyekolahkannya. Malu aku pada anakku. Dua bulan lagi teman-temannya naik ke kelas 6.

“Pak,” Teguh memanggilku, “Bapak kalau mau pergi, pergi saja. Cari uang. Kasihan Siti.”

“Ibumu juga kasihan, Le. Siapa yang mau njaga?”

“Aku bisa njaga, Pak. Gantian.”

“Repot, Le, kalau kamu jaga sendirian.”

“Ndak apa, Pak. Kasihan Siti,” dia ulangi lagi. “Ini... buat bekal di jalan.” Dia tuangkan air dari termos ke botol Aqua bekas pakai untuk diberikan padaku. Akhirnya aku menyerah. Setelah mencium kening istriku, Siti dan mengusap rambut Teguh, akupun memakai sendal jepitku yang sudah mulai tipis dan menarik gerobakku keluar untuk mengumpulkan sampah.

Panas. Kulihat banyak pemulung sepertiku mengambil tempat di bawah pohon-pohon rindang untuk beristirahat. Kulihat juga karung maupun gerobak yang mereka punya sudah terisi hampir penuh. Aku sadar benar betapa kecil kemungkinannya aku bisa mengumpulkan cukup sampah untuk dikilo. Aku kesiangan keluar. Tapi kalau teringat istriku yang sedang sakit, Siti yang merengek makan, serta Teguh yang begitu tegar... aku hanya bisa berdoa masih ada sampah yang tersisa. Pasrah.

“Pak!” tiba-tiba ada seorang pemulung – masih muda - berlari ke arahku sambil menyeret-nyeret karung yang kelihatannya berat.

“Kenapa, Dik?”

“Pak, cepet Pak. Ke rumah yang itu tuh,” ujarnya sambil menunjuk ke sebuah rumah di kejauhan, “lagi bagi-bagi sembako, Pak. Cepet, Pak!”

“Yang bener?” aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. Terlihat beberapa orang seprofesi sedang berlari-lari tergopoh-gopoh menuju rumah yang sudah dikerumuni. Setelah mengucapkan terima kasih akupun ikut tergopoh-gopoh pula berlari.

Sesampainya di tengah kerumunan, seperti biasa aku terdorong-dorong, dan ikut mendorong pula. “Saya! Saya!” teriakku ke satpam yang membantu membagikan, “Saya, Pak! Saya belum!” aku berteriak lagi.

“Iya! Sabar!” Satpam itu mulai kewalahan menghadapi orang-orang yang kalap melihat sembako. Tapi tak lama dia menaruh sebungkus plastik besar di tanganku yang sedang menggapai-gapai. Jantungku berdebar demikian kerasnya penuh kelegaan ketika aku merasakan beratnya plastik itu. Setelah susah payah keluar dari kerumunan orang, akupun bersujud di atas aspal jalanan. Kupikir Tuhan yang demikian baiknya patut menerima ucapan terima kasih.

Bangun dari sujud, aku berjalan kembali ke gerobakku yang kutinggal di seberang kerumunan. Di sampingnya berdiri seorang nenek-nenek, rambutnya digelung kecil, berantakan. Jarik batik dan kebayanya terlihat sangat longgar karena tubuh rentanya sangat kurus. Pandangannya nanar, menatap ke kerumunan yang masih berebut. “Ibu lagi nunggu siapa?” tanyaku.

“Nggak nunggu siapa-siapa. Saya mau sembako juga, Pak.”

“Mau sembako kok di sini? Ke depan situ dong, Bu.”

“Takut, Pak... Takut didorong-dorong...” matanya menatap kerumunan, “tapi saya sudah nggak punya apa-apa untuk makan. Sudah nggak bisa apa-apa lagi...” Ia menunduk, dan mulai terisak.

“Bu,” aku tak tega, “tunggu di sini ya. Saya coba ambilkan buat ibu.” Ujarku sambil memegang bahunya. Ia hanya mengangguk sambil terus menangis. Tak lama perjuanganku menembus kerumunan orang pun dimulai lagi. Kali ini gerombolannya lebih ganas. Dorong-dorongan hampir tak terkendali. Untung sekali nenek tadi tidak jadi masuk ke sini. Bisa mati terinjak-injak dia.

“Bapak-bapak, Ibu-ibu,” satpam yang tadi berujar dengan megafon, “maaf sekali sembakonya sudah habis.” Seketika semua orang yang sedang berebut diam. Tiba-tiba suara-suara yang tadinya berteriak-teriak kini berubah sunyi. Akupun mematung bersama belasan orang lainnya. Sesaat seperti bohongan, tapi kemudian pagar rumah mulai ditutup. Tandanya sembako yang dibagikan memang sudah habis. Aku berjalan gontai ke arah nenek tua tadi yang masih menunggu di sisi gerobakku.

“Sembakonya habis,” ujarku pelan, “pagarnya sudah ditutup.”

Nenek itu terdiam, lalu beranjak pergi setelah mengucapkan terima kasih padaku. Jalannya pelan, tertatih-tatih sambil tetap menunduk.

“BU!” akhirnya aku memanggilnya. Dia menengok dan aku berlari ke arahnya. “Ini buat ibu saja. Saya bisa cari yang lain.”

“Nggak usah. Itu punya bapak. Saya saja yang cari.” Dia menggeleng.

“Sudah,” kusodorkan plastik sembako itu kepadanya, “ambil saja, Bu. Nggak apa. Saya masih bisa mulung.”

Dia menatapku, menatap tanganku yang memegang sembako, lalu menatapku lagi. Aku yakinkan kembali dirinya untuk mengambil plastik yang ada di tanganku ini. Akhirnya dia mau menerima bungkusan yang lumayan berat itu. “Satu lagi, Bu,” ujarku sambil melepaskan sandal jepit milikku satu-satunya, “ini, pakai saja. Memang kebesaran dan sudah jelek sekali, tapi daripada Ibu nyeker... lebih baik saya yang nyeker.”

“Subhanallah, Paaaaak. Ya Allaaaahh. Bapak baik sekali. Ya Allaaahh...” Setelah itu dia berkali-kali menyebut nama Tuhan dibarengi dengan doa-doa untukku. Perih memang melihatnya pergi dengan sembako yang harusnya menjadi milikku... tetapi ada rasa bangga yang tertinggal di hati. Dengan berbekal rasa itu, dan bertelanjang kaki, aku menyampirkan tali gerobak di bahu dan mulai berjalan memulung lagi.

Hari sudah mendekati petang ketika aku menemukan sebuah boneka usang, tetapi masih lumayan bagus, di sebuah tempat sampah. Bisa kuberikan pada Siti. Setidaknya boneka ini bisa membuatnya senang, pikirku. Sedikit menenangkan diri, walaupun dalam hati aku tahu boneka tak bisa membuat kenyang.

BRAAAKK!! Terdengar suara dari belakang. Dengan perasaan campur aduk, pelan-pelan aku menengok. Ternyata bagian belakang gerobakku menyenggol spion mobil orang. Mati aku. Spionnya sampai copot menggantung-gantung. Lantas aku pinggirkan gerobakku dan menghampiri mobil yang sedang diam terparkir itu. Ragu-ragu, tanganku menyentuh spion yang copot dan mencoba membetulkannya lagi. Sia-sia. Mana bisa sebuah spion terpasang kembali begitu saja tanpa alat bantu apapun? Ya Gusti, ada-ada saja cobaanMu padaku hari ini.

“Woi!” ada suara memanggilku. Nadanya marah. Seorang satpam keluar dari rumah di belakangku. Nampaknya pemilik mobil ini ada di dalam rumah tersebut. “Siapa yang ngerusak spionnya?!” tanya satpam itu kepadaku.

“Saya, Pak...” jawabku sambil menunduk. “Kesenggol gerobak saya, Pak...”

“Bisa ngganti, nggak? Hah? Bisa nggak?”

“Maaf, Pak. Nggak bisa,” jawabku terus terang.

“KOK NGGAK BISA! HARUS BISA! KAMU KIRA SPION ITU MURAH?” Satpam itu mulai membentakku sekarang. Kedua tangannya berkacak pinggang.

“Ampun, Pak. Saya tahu spion itu nggak murah. Makanya saya bilang terus terang nggak bisa bayar.”

“HARUS BISA BAYAR!”

“Ampun, Pak. Saya nggak punya uang. Cuma tinggal segini,” kurogoh seluruh kantong yang menempel di bajuku dan memberikan uang Rp. 1300, - padanya. “Ini...”

Tiba-tiba tangan satpam itu menampik tanganku keras. Saking kerasnya uangku jatuh tercecer. Langsung aku jongkok dan mengumpulkan recehan itu kembali. Walaupun jumlahnya hanya 5 uang koin dan tak mungkin menggantikan spion yang kurusak, untukku uang itu masih sangat berharga.

“AMBILIN SEMUA TUH DUIT KAMU! TUNGGU DI SINI! SAYA MAU PANGGIL YANG PUNYA MOBIL! BIAR KAMU TAHU RASA!” Satpam itu akhirnya berjalan kembali masuk ke dalam rumah.

Aku masih jongkok. Bukan karena masih mengumpulkan recehan, tapi karena aku sudah mulai menangis. Terbayang di otakku wajah Teguh, Siti dan istriku yang sedang menungguku pulang. Terbayang pula di kepalaku ganjaran apa yang akan diberikan pemilik mobil ini kepadaku. Akankah dia memarahiku lagi seperti satpamnya? Akankah dia menyuruh satpam itu memukuliku?

Atau membawaku ke kantor polisi? Penjara?

Astaga! Penjara! Aku tak mau dipenjara! Kalau dimarahi atau dipukuli, aku masih bisa pulang. Tapi kalau penjara...? Bagaimana nasib anak istriku nanti jika aku tak ada?

Dihantui pikiran-pikiran itu aku lalu mengambil langkah seribu. Kujemput gerobakku yang teronggok di pinggir jalan lalu kutarik sambil berlari menjauhi mobil tadi.

Sekuat tenaga aku berlari sambil sesekali menengok ke belakang. Pemilik mobil sudah keluar dari rumah. Kulihat dia mulai beradu mulut dengan satpam tadi. Ya Tuhan, dia pasti marah sekali. Sekali lagi aku menengok ke belakang. Dia masuk ke dalam mobilnya. Aku mendengar mesinnya dinyalakan. Kukebut lagi lariku dengan harap dia tak bisa menyusul. Tapi itu hanya harapan kosong. Selang beberapa detik kemudian aku mendengar klakson dibunyikan berulang kali. Ditujukan kepadaku. Di dalam hati aku berdoa, siapa tahu jika aku pura-pura acuh dia akan mengira bukan aku pelakunya.

Tapi aku salah. Pemilik mobil itu akhirnya memotong jalanku dengan mobilnya. Hatiku berdebar tak karuan. Dia membuka pintu mobilnya dan berjalan menghampiriku. Aku melepas gerobakku pelan-pelan, sambil bersiap-siap melarikan diri.

“Yang nabrak mobil saya, Bapak ‘kan? Kenapa Bapak lari?” Dia bertanya sambil berjalan ke arahku. Ketika aku akan menjawab pertanyaannya, tiba-tiba saja dia sudah berdiri di depanku. Langsung aku menunduk, tak berani melihat matanya.

“Pak. Kenapa bapak lari?” Dia bertanya lagi.

Aku langsung menjatuhkan diri, “Pak, ampun, Pak! Saya nggak sengaja! Sungguh, Pak! Ampun!” aku menangis lagi, kali ini sambil bersujud dan memegangi kakinya. Dia tak bergerak. “Maafin saya, Pak. Saya akan ganti, Pak. Saya cari uang dulu, Pak. Saya jangan dibawa ke kantor polisi! Jangan, Pak! Saya nggak mau masuk penjara, Paaaakkk!”

Kaki yang sedang kupegang akhirnya bergerak. Pemiliknya sekarang sudah berjongkok di depanku. Tangannya kemudian memegang kedua bahuku. Ia mulai berbicara lagi, “Pak. Jawab, Pak. Kenapa bapak lari?”

Susah payah aku mereda tangisku lalu melihat ke arahnya, “saya... saya takut.”

“Kenapa Bapak mesti takut? Bapak ‘kan belum kenal saya? Tahu dari mana saya ini menakutkan?” ujarnya sambil tertawa. “Pak. Saya menyusul Bapak, bukan karena saya marah. Saya menyusul Bapak, bukan untuk minta ganti rugi,” katanya. Kata-kata yang tidak kukira akan keluar dari mulutnya. “Justru saya ke sini mau minta maaf.”

“Minta maaf? Tapi saya... saya yang nabrak mo—“

“Memang benar, Bapak yang nabrak mobil saya. Tapi satpam saya sudah nggak sopan ke Bapak. Tolong maafin dia, ya?” Ujarnya. Kemudian dia berkata lagi sambil tersenyum, “Mobil ini nggak usah diganti kerusakannya. Saya bisa masukkin ke bengkel teman saya. Bapak nggak usah khawatir.”

“Bapak nggak marah harus ngeluarin uang untuk betulin mobil Bapak?” tanyaku.

“Marah ke siapa? Ke Bapak? Untuk apa? Justru saya yang malu kalau Bapak tetap mengganti kerusakannya.”

Aku diam, mengernyitkan dahi, sambil berpikir dalam hati kalau orang di depanku ini sudah gila. Apa aku sedang tidak bermimpi? Apa benar aku tidak sudah mati dipukuli oleh satpamnya lalu ini cuma ilusi?

“Bapak nyeker? Nggak panas?” Dia menunjuk ke bawah.

“Saya?” aku melihat kakiku. “Oh... iya... tadi ada nenek-nenek...” aku teringat kembali sandalku sudah menjadi kepunyaan orang lain sekarang.

“Saya nggak punya sandal di mobil. Jadi, ini...” ujarnya sambil mengambil uang dari kantong celana. Dua lembar uang seratus ribuan. “Buat beli sandal.”

“Bapak nggak salah?” Aku mundur 1 langkah, kaget karena melihat uang.

“Ambil, Pak.”

“Tapi saya nggak bisa nerima. Masa’ Bapak ngasih uang ke saya, padahal harus ngeluarin uang lagi untuk mobil yang SAYA rusak? Saya memang miskin. Tapi saya tahu diri. Saya bukannya sombong, tapi saya mau cari uang dengan usaha sendiri.”

“Saya nggak bilang bapak nggak tahu diri. Dan ini bukan belas kasihan. Ini uang muka gaji Bapak. Mulai besok Bapak kerja sama saya. Memang sepertinya saya memaksa. Tapi setelah kejadian tadi, saya perlu seorang satpam lagi untuk menggantikan yang lama.” Dia menepuk bahuku. Aku menengok ke arah rumah tadi. Satpam yang memarahiku berjalan keluar menggendong ranselnya tanpa menggunakan seragamnya lagi.

“Sekarang pulang, beli oleh-oleh buat keluarga Bapak. Besok pagi-pagi jam 7 saya tunggu di rumah.” Ujarnya sambil menyelipkan uang tadi ke kantong bajuku. Aku mengucapkan terima kasih berulang-ulang dan berusaha mencium tangannya. Dia menolak, menarik tangannya dari hadapan mukaku. Dia menjabat tanganku.

Setelah orang itu melajukan mobilnya, aku pun bersujud syukur untuk kedua kalinya hari ini. Malam ini aku akan berjalan menarik gerobakku pulang dengan senyuman terpampang di wajah. Agenda pertama? Obat untuk istriku, lauk untuk makan Siti, dan memberitahu Teguh... semester depan dia bisa sekolah lagi.

No comments:

Post a Comment